Logo Halal

Rabu 23-03-2022,04:00 WIB
Reporter : Imron Mawardi*
Editor : Yusuf M. Ridho

HEBOH logo halal yang baru telah reda. Meski sangat disayangkan, polemik logo itu membawa hikmah. Paling tidak, soal halal menjadi perbincangan berbagai kalangan. Perhatian terhadap persoalan halal pun menjadi begitu besar. Bukan hanya kalangan organisasi-organisasi Islam, melainkan juga politisi, selebritas, dan masyarakat umum. Bahkan, kalangan nonmuslim.

Selama ini persoalan halal memang kurang menjadi perhatian. Termasuk kaum muslimin. Sering kali kehalalan itu hanya persoalan mengandung babi atau tidak. Jika mengandung babi, haram. Mungkin karena babi dan unsur-unsurnya memang begitu banyak digunakan. Bukan hanya dagingnya. Melainkan, juga produk-produk turunannya. Apalagi, babi adalah haram sekaligus najis mughaladzah. Yang menyucikannya harus dibasuh tujuh kali dan satu di antaranya dicampur dengan debu.

Sebenarnya, kehalalalan tidak sesederhana itu. Bukan sekadar mengandung babi. Yang tidak mengandung babi pun banyak yang tidak halal. Ilustrasinya begini: apakah ayam goreng pasti halal? Belum tentu. Ayamnya disembelih atau tidak. Kalau disembelih, apakah halal? Belum tentu. Disembelih sesuai syariah atau tidak? Jika sudah sesuai syariah, berarti halal? Belum tentu juga. Bumbu dan minyak gorengnya halal atau tidak? Dan sebagainya.

Ya. Halal itu ada dua dimensi. Halal li-dzatihi (zat atau barangnya halal) dan lighairi dzatihi (bukan zatnya, melainkan prosesnya). Yang rumit adalah yang kedua itu. Sebab, proses pembuatan dan unsur atau zat yang digunakan dalam proses produksi makanan dan minuman cukup kompleks. Banyak unsur di antaranya yang tidak halal.

Repotnya, sebagian besar masyarakat tidak aware terhadap kehalalan itu. Baik produsen maupun konsumen. Jika makan di resto, misalnya, seorang muslim harus hati-hati. Harus berani bertanya. Sebab, banyak resto menyajikan menu tidak halal, tetapi tidak menyatakannya. Karena label halal belum wajib, yang halal dan yang haram sama-sama tidak memberi label. Konsumen muslim dirugikan karena tak tahu mana yang halal.

Suatu saat saya masuk ke resto mi bersama istri yang berhijab –anggaplah sebagai identitas muslim. Waiters melayani dengan sangat baik. Sambil menunggu pesanan, iseng saya tanya apakah mi di resto ini halal? Dengan santai waiters menjawab bahwa mi ini menggunakan minyak babi. Saya pun membatalkan pesanan dan pindah ke resto lain. Kejadian yang sama terulang.

Di food court sebuah mal di Surabaya, saya amati menu babi guling berdampingan dengan berbagai makanan seperti soto, rujak cingur, ayam goreng, dan sebagainya. Kata waiters, piring untuk babi guling dipisah dan diberi tanda khusus. Tapi, saya melihat konsumen babi guling mengambil sendok dari tempat yang sama dengan makanan lain. Artinya, kehalalan tidak terjaga dan jarang yang peduli.

Resto-resto di Eropa boleh jadi lebih peduli terhadap kehalalan itu. Sering kali saat melihat muslim masuk ke resto, waiters langsung bilang bahwa menu makanannya mengandung babi. Tidak halal. ”Not for you.” Begitu biasanya mereka bilang ke konsumen yang tampak seorang muslim. Ya, mereka peduli. Meski tahunya yang tidak halal hanya babi.

Kehalalan bukan saja pada makanan dan minuman. Karena itu, sertifikasi halal juga akan diberlakukan pada produk kosmetik dan obat-obatan. Bagi muslim, apa pun yang dikonsumsi memang harus halal dan tidak najis. Bukan saja pada zatnya, melainkan juga campuran dan prosesnya. Yang tidak sederhana. Tidak bisa diketahui konsumennya.

Inilah pentingnya sertifikasi halal. Agar yang halal jelas. Yang halal dan sudah disertifikasi halal ditandai pencantuman logo atau label halal. Yang tidak berlogo halal, berarti tidak halal. Tidak boleh dibeli dan dikonsumsi kaum muslimin.

Logo halal menjadi sangat penting. Karena itu, wajar juga heboh-heboh atas logo baru yang dianggap kurang clear. Tulisan halal dalam bahasa Arab kurang menonjol dan sulit dikenali. Khat kufi kurang dikenal masyarakat muslim Indonesia. Yang banyak dikenal adalah khat tsulutsi atau riq-i. Yang banyak digunakan dalam penulisan mushaf Al-Qur’an. Yang juga digunakan dalam logo halal di berbagai negara.

Ke depan, logo halal memang begitu penting. Sebab, UU Jaminan Produk Halal (UU JPH) yang diundangkan sejak 2014 sudah diberlakukan. UU itu memang mengamanatkan penerapannya  lima tahun kemudian atau 2019. Kemenag pun sudah menerapkannya dengan melakukan sertifikasi halal. Namun, itu dilakukan secara bertahap.

Dalam lima tahun sejak Oktober 2019, sertifikasi hanya diberlakukan bagi produk makanan dan minuman. Tahap kedua mulai Oktober 2021 dengan rentang waktu berbeda-beda. Antara tujuh hingga 15 tahun. Bergantung kompleksitas produk. Artinya, keharusan penuh sebagaimana amanat UU JPH akan terpenuhi tahun 2036.

Tidak mudah memang menerapkan sertifikasi halal secara menyeluruh. Begitu luas ruang lingkupnya. Dan begitu kompleks. Tapi, karena sudah diundangkan, itu harus dilakukan. Pemerintah melalui BPJPH harus menyiapkannya dengan baik. Mulai penyiapan standardisasi halal, keberadaan pelaksanaan sertifikasi,  Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) agar mudah dijangkau, dan sistem serta mekanisme sertifikasi yang cepat dan murah. Wallahu a’lam. (*)

 

Tags :
Kategori :

Terkait