HARIAN DISWAY - Berkunjung ke kawasan calon ibu kota baru ternyata lumayan seru. Aku meninjau Titik Nol, Bukit Sudharmono, dan menyaksikan bangunan menara sebagai pusat pengawasan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN).
Aku sampai di Penajam Paser Utara sekitar pukul 11 siang. Seorang teman, Dian Ekarana, mengantar saya menuju Titik Nol IKN. Yakni titik pusat pengukuran pembangunan ibu kota baru. Di situ aku baru memahami jika kayu yang digunakan dalam pembangunan IKN, berasal dari hutan produksi yang telah disiapkan sejak era Orde Baru.
Di titik itulah aku duduk dan berfoto ria. Benar-benar di pusatnya. Dari titik itulah awal mula terciptanya ibu kota baru Republik Indonesia yang saat ini sedang dikerjakan. Salah seorang pengelola menuturkan bahwa kelak istana negara akan menjadi bangunan tertinggi di lahan itu. Tak ada bangunan lain yang menyamai tinggi istana negara.
Suasana cukup sejuk dan lapang. Pepohonan rimbun menjadi latar Titik Nol. Di kawasan itu terdapat papan penunjuk arah berbagai wilayah penting di Nusantara. Seperti Jakarta hingga Sabang sampai Merauke. Ada pula miniatur peta Indonesia yang diberi pembatas. Berada di pusat Titik Nol sembari merentangkan tangan, menghirup udara segar. Rasanya dunia ini cuma milikku seorang.
Beberapa jam berada di IKN, aku beranjak ke Bukit Sudharmono. Perjalanan menanjak. Cukup jauh. Bukit tersebut masih menjadi bagian IKN di Penajam Paser Utara. Di sana terdapat bangunan seperti Menara Eiffel, namun bentuknya khas etnik Kalimantan. Menara itu merupakan menara pengawas. Untuk melihat proses pembangunan IKN.
Juga dalam bukit tersebut terdapat landasan pacu untuk helikopter. Pemerintah rupanya telah mempersiapkan segala sesuatunya demi ibu kota baru. Di Bukit Sudharmono banyak truk-truk berseliweran. Membawa potongan-potongan kayu berukuran besar.
Tapi menurut pengelola, kayu-kayu tersebut bukan berasal dari hutan lindung atau dari hutan produktif. Melainkan berasal dari hutan produksi yang telah ditanam dan dipersiapkan sejak era pemerintahan Presiden Soeharto. Jadi memang hutan yang disiapkan untuk material pembangunan.
Di sana aku mengunjungi Jembatan Pulau Balang. Jembatan tersebut kabarnya diproyeksikan sebagai penghubung antara Balikpapan dan IKN. Jika melewati jalur darat pada umumnya tentu sangat memakan waktu. Tapi bila kelak pengguna jalan melewati jembatan itu, maka lama perjalanan dari Balikpapan ke IKN hanya memakan waktu satu setengah jam.
Selesai bertamasya di IKN, aku menuju daerah Penajam. Penajam saja, bukan Penajam Paser Utara ya. Melewati hamparan perkebunan sawit. Menuju Balikpapan, aku naik kapal feri. Kembali ke hotel. Esoknya, pada 1 Juni 2022, aku pulang ke Surabaya. Oleh-olehnya cerita. (Oleh: Dhahana Adi, penulis buku Surabaya Punya Cerita)