Penjelajahan Tiga Zaman Ady Setyawan (1) : Lebatnya Hutan Berganti jadi Kemacetan

Rabu 08-06-2022,19:45 WIB
Reporter : Michael Fredy Yacob
Editor : Doan Widhiandono

Ady Setyawan punya impian ingin menjelajahi Pulau Jawa termasuk Jakarta. Dirinya mengajukan proposal ke Royal Enfield dan National Geographic. Maret 2022, proposal itu diserahkan. Lalu dipresentasikan. Sebulan kemudian, ACC turun. Itulah awal perwujudan mimpi tersebut. Juga perjalanan panjang Ady.

RUAS demi ruas Jalan Raya Pos menyisakan ruang sejarah. Jalan itu dibangun di zaman Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels pada 1809. Panjangnya seribu kilometer. Membentang dari Anyer di Banten hingga Panarukan di Situbondo. Jalan itulah yang menjadi tulang punggung perjalanan panjang Jelajah Tiga Zaman yang dilakoni Adi.

Ia memulai pengelanaan itu dari Batavia. Sekarang disebut sebagai Jakarta.

Pada 24 Mei 2022, lelaki kelahiran 1982 itu mulai menggeber mesinnya. Ia menggunakan motor buatan Inggris dari perusahaan yang menyokongnya.

Ditemani, seniornya, Hadi Saputro, perjalanan itu dimulai. Ady menggunakan motor Royal Enfield keluaran 2020. Sedangkan Hadi menunggangi BSA M-20 keluaran 1948.

’’Peta’’ perjalanan itu disusun berdasar keping-keping catatan pada buku dari tiga zaman. Yakni, Penaklukan Pulau Jawa yang disusun Mayor William Thorn pada 1820. Lalu ada Kehidupan orang Jawa dalam Sketsa Orang Jawa yang digubah William Barrington pada 1860. Yang terakhir adalah Jalan Raya Pos, Jalan Daendels yang ditulis Pramoedya Ananta Toer pada abad ke-20.

’’Di tiga buku itu ada kesamaan tempat. Tetapi penggambarannya berbeda-beda. Karena, setiap tahun tempat itu pasti berubah,’’ kata Ady, Minggu, 5 Juni 2022.

Ady ingin membandingkan catatan perjalanan petualang zaman dahulu pada jalur Anyer-Panarukan tersebut. “Saya ingin bandingkan dengan kondisi sekarang. Apakah yang mereka gambarkan masih sama. Jika sudah berubah, perubahannya seperti apa,’’ jelas Ady.

Karena itu, dari Jakarta, Ady langsung menuju Kabupaten Anyer. Jaraknya 131 kilometer dari Batavia. Mereka berkendara selama 3 jam lebih.

Anyer memang berada di ujung barat Jawa. Lebih dekat ke Sumatera.

Ady dan Hadi berangkat dari Menara Syahbandar (Uitkijk) Batavia pukul 17.00. Menara itu dibangun pada 1839. Dulunya untuk memantau kapal-kapal yang keluar-masuk Batavia di Pelabuhan Sunda Kelapa.

Mereka baru sampai di Mercusuar Cikoneng, Banten, pada tengah malam. Itulah titik nol jalur Anyer-Panarukan. Letaknya di Kampung Bojong, Desa Cikoneng.

Menurut William Thorn, jalur antara Tangerang-Serang belum banyak penduduk. Hutannya lebat. Banyak macan.

“Berdasar catatan itu, saya berharap bisa sampai ke Anyer pukul 19.00. Perubahannya memang luar biasa. Bukan macan yang saya temukan. Tapi, kemacetan yang luar biasa. Menggantikan lebatnya hutan saat itu,” katanya sambil tersenyum.

Di Anyer, sudah tidak ada lagi benteng Belanda seperti zaman Thorn. Bahkan, Thorn sejatinya menulis bahwa di zamannya, benteng Belanda yang dimaksud itu tinggal reruntuhan.

Yang tersisa adalah toponimi alias sejarah penamaannya. Ya, keesokan harinya, Ady lantas mendatangi benteng yang dimaksud oleh Thorn itu. Namanya Benteng Speelwijk. Letaknya di Kampung Pamarican, Serang. Di situlah sejarah tentang kampung itu mencuat. Pamarican berarti pusat perdagangan merica (lada). Karena itu, Belanda berkepentingan menguasai tempat tersebut. Untuk menguasai perdagangan lada.

Kategori :