Maka, didirikanlah benteng pada abad ke-17. Namanya, Benteng Speelwijk. Untuk menghormati Gubernur Jenderal Hindia Belanda Cornelis Janszoon Speelman.
Di benteng itu, hanya ada beberapa tembok yang berdiri. Ada sisa jendela di situ. DI benteng itu, Ady berkesempatan masuk ke ruang bawah tanah. Padahal, saat itu aksesnya masih tutup.
“Bersyukur petugasnya baik hati. Mereka mau membukakan akses ke bawah dan saya ditemani masuk,’’ ucapnya.
Ady juga mengunjungi Stasiun Anyer Kidul. Inilah stasiun kereta yang terletak di ujung paling barat pulau Jawa. Tetapi, ia sudah tidak aktif. Kondisinya sangat memprihatinkan. Sudah jadi kandang ayam.
Ady menemukan turntable rel kereta. Inilah peranti untuk memutar lokomotif.
Ya, kereta memang tidak bisa putar balik. Kepalanya yang harus diputar posisinya. Di jalur rel kereta api pulau Jawa, lokomotif yang sudah mentok di barat harus diputar agar bisa kembali menghadap ke timur. Dan zaman dulu, lokomotif kereta hanya bisa berjalan ke satu arah. Tidak seperti kereta saat ini yang lokomotifnya bisa maju atau ’’mundur.’’
Turntable itu kini tersembunyi di salah satu kampung. Tidak di sebuah tanah lapang dengan bentuk lingkaran.
Beruntung, Ady bertemu Yunus, pria 85 tahun yang tinggal di samping Stasiun Anyer Kidul. Yunus alu mengajak Adi dan Hadi mendatangi turntable tersebut. Untuk bisa ke tempat itu, mereka harus melewati beberapa gang sempit. Hanya satu motor yang bisa melewatinya.
Dan di situ, turntable itu sudah penuh masyarakat. Padahal, bentuknya masih utuh. Komplet dengan betonnya. EKSPEDISI PENCATATAN Tiga Zaman melintasi Kayoon Heritage, Jalan Embong Kemiri, Minggu, 5 Juni 2022.-Julian Romadhon-Harian Disway-
Dari Anyer, mereka kembali ke Batavia. Dalam perjalanan itu, Ady mengingat beberapa kalimat yang dicatat oleh William Barrington. Katanya, di tiap pos pemberhentian, kuda-kuda pengirim pos akan diganti dengan kuda baru.
Lalu ada jongos pribumi yang menyiram roda kereta dengan wadah bambu berisi air. Kuda juga dimandikan dan diberi makanan. Agar kembali segar dan bisa bekerja.
Dalam perjalanan, mereka mampir ke Depok. Di situ, mereka bertemu sejarawan yang menurut mereka luar biasa. Pola pikirnya tentang sejarah berdirinya Indonesia sangat kritis. Sejarawan itu bernama J.J. Rizal.
“J.J. Rizal menceritakan, saat ini ada upaya memopulerkan kembali kejayaan Daendels. Karena, sejarawan hanya melakukan riset periode 1945-1949,” ungkapnya.
Di periode itu, bisa terbentuk opini publik bahwa Belanda juga menderita. Mereka dianiaya Jepang. Lalu dianiaya juga oleh orang-orang Indonesia.
“Mereka tidak melihat sejarah di belakangnya seperti apa. Di Jalan Raya Pos itu, berapa ribu orang yang meninggal karena perbuatan Belanda,” ungkapnya.
J.J. Rizal juga berpesan agar kita tidak menjadi bangsa budak. Dalam catatannya, Pramoedya juga secara tegas menuliskan pesan itu. “Jangan menjadi bangsa budak”. Secara fisik atau mental. “Jadi kita juga harus kritis. Jangan percaya begitu saja,” tegasnya. (Michael Fredy Yacob)