Travel Notes Kirana Kejora dari Bena Seri 1: Mati Kata Menatap Aura Sejarah Besar

Jumat 17-06-2022,07:35 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani

Kiranya baru saya sadari bahwa Jalan Trans Flores dari Labuan Bajo ke Ruteng ternyata punya 1001 kelokan. Sepanjang 132 kilometer didominasi tanjakan dan turunan tajam dengan belokan 180 derajat, membuat jantung terasa mau lepas. Uji nyali saya tidak sukses sama sekali. 

Sau hanya tersenyum. Saya melirik dengan kesal. Kenapa ia tidak bilang tentang jalur ekstrem ini. Mungkin ini juga pelajaran dari sifat buruk saya. Sok tahu. Awalnya Sau sudah bertanya apakah saya siap jalan darat sekian jam dengan beberapa itinerary yang ia tawarkan. Waktu itu lantang saya jawab: ”Siapa takut!”

Masa mual dan pening berhasil dengan susah payah saya lalui. Hingga banyak tikungan tajam akhirnya berhasil kami lewati dengan nyaman. Setelah saya minum obat antimabuk. 

Di pinggir jalan banyak sekali mama penjual buah. Ada pisang, mangga, pepaya, markisa, dan nanas. Saya minta Sau menghentikan mobil. Buah makanan yang tepat bagi pemabuk. Ah saya mengaku akhirnya. Mabuk darat, cukup sekali ini saja. 

Mobil berhenti di depan sebuah warung penjaja buah. Tampak banyak sekali mangga ditata rapi di dalam satu piring kecil berisi 4 buah seharga Rp20 ribu. 

Saya segera dengan sigap mengambil pisau. Saya kupas dua buah mangga sekaligus. Kami makan berdua. Lumayan segar dan manis. Melegakan tenggorokan saya yang terasa sangat pahit. 

Setelah puas makan mangga, kami meneruskan perjalanan dengan hati terasa mulai tenang. Meskipun perut belum begitu kenyang. 

Sampai di Ruteng, sore mulai beranjak ke senja. Kami beristirahat di Hotel Sidha. Mengumpulkan energi untuk keesokan hari buat perjalanan naik turun lagi. Lengkap dengan bonus kelokan tajam sepanjang 136 km ke Bajawa. 

Pagi yang berpenghuni. Tubuh terasa segar kembali. Selesai sarapan, sekitar jam 11 siang, kami melanjutkan perjalanan. 

Pemandangan menyejukkan mata. Menenangkan rasa dengan keteduhan pepohonan di sepanjang jalan, bukit, serta tebing yang hijau membuat raga tak terasa lelah setelah  empat jam di jalanan.

Perjalanan yang cukup menguras energi ini sebenarnya bisa menjadi kelana yang menyenangkan bila saya ’siap’. Buktinya tak ada lagi insiden mabuk darat karena saya telah antisipasi dengan Antimo. 


Gerbang masuk Kampung Tradisional Bena yang sepi.

Sekitar jam 3 sore kami sampai ke kota sejuk, Bajawa. Terletak di sebuah cekungan, Bajawa tampak seperti sebuah piring yang dikelilingi barisan pegunungan. Dari sana, perjalanan berlanjut ke arah selatan. Menuju Bena dengan jarak tempuh 18 km.

Mata semakin segar menikmati kemegahan bukit yang mengelilingi liukan jalan penuh tanjakan menuju kampung tradisional itu. Bau khas pepohonan perdu hutan tropis menambah energi tersendiri. Aura sejarah besar mulai terasa. 

Mobil terparkir tepat di depan pintu gerbang Kampung Bena. Sunyi. Suasana sepi. Mungkin karena belum musim liburan. Itu belum apa-apa. Saat kaki melangkah ke tangga pertama untuk turun menuju Kampung Bena, saya mati kata menatap jauh ke depan.

Terlihat rumah-rumah beratap rumbia berjejer rapi. Rumah khas Bena itu saling berhadapan di kaki gunung. Dikelilingi bukit-bukit indah. Seperti lukisan-lukisan yang sejak saya duduk di Taman Kanak-Kanak cukup mengusik.

Kategori :