Selain ngadhu dan bhaga, di area kisanata terdapat beberapa kuburan batu. Konon batu-batu ini berumur ratusan tahun dan batu vertikal dan runcing yang merupakan makam leluhur orang Bena.
Di tengah Kampung Tradisional Bena terdapat altar batu utama yaitu sebuah meja besar dari batu pipih halus sekali, rata, dan datar permukaannya. Dikelilingi batu-batu pipih lancip/runcing yang menjadi semacam pagar dari meja.
Melihat itu, lagi-lagi saya seperti mimpi. Hampir tak percaya.
Imajinasi saya mulai sangat liar. Di depan saya seperti ada film sejarah. Bergambar sekerumunan orang-orang dengan telanjang dada yang hanya memakai daun atau kulit kayu untuk menutupi sebagian tubuh.
Bhaga dan makam leluhur orang Bena yang terdapat di area kisanata.--
Mendadak seperti banyak gambar sephia. Semua bayangan berwarna cokelat tua. ”Ayo. Jalan! Bahaya jika penulis sudah berimajinasi liar di sini,” kata Sau, Saujana, pramuwisata yang mengawal perjalanan saya ke Bena.
Sau menggandeng tangan kiri saya. Tentu saja itu mengejutkan. Membuat lamun khayal saya buyar semua. Ia paham sekali bila saya mulai mengkhayal yang bukan-bukan.
”Sau, kamu apa enggak bisa membayangkan upacara-upacara adat yang telah dilakukan ratusan tahun dilaksanakan di sini?”
”Nanti liarkan imajinasi saat pulang. Waktu kita terbatas. Ini nyata. Sekarang kita lihat, foto, rekam. Semua yang ada di depan kita ini nyata. Bukan film fiksi. Bukan zaman ratusan tahun lalu!”
Langkah saya begitu pelan. Menikmati semua yang tak pernah berada sedikit pun dalam pikiran. Bagaimana tidak? Melihat bentuk batu-batu altar itu, saya seperti terbawa ke masa silam, masa yang tak terbayangkan. Ya, masa di zaman megalitikum. Saat manusia masih menggunakan batu sebagai alat perkakas utama rumah tangga, kehidupan yang masih sangat kuno, begitu sederhana, alamnya masih natural.
Sore yang menegangkan sekaligus menyenangkan. Rumah Kampung Bena di kanan kiri kami sangat alami. Di depan rumah terdapat teras yang nyaman, terlihat para mama santai menenun sehelai sarung atau selendang warna-warni, tenang sekali. Wajah mereka sangat teduh menatap kami.
”Sore Mama,” sapa Sau. Disambut dengan senyum merekah salah seorang mama yang asyik menenun. Tampak gigi perempuan separuh baya itu merah. Rata-rata para mama di sana memang pengunyah sirih dan pinang.
Lalu saya diajak Sau mampir ke rumah mama tersebut. Saya duduk, tersenyum, menganggukkan kepala, melihat dia menenun. Saya penasaran, lalu sedikit melihat ke dalam rumah yang pintunya terbuka. Ternyata terdapat ruang tanpa sekat yang luas sekali.
Sambil duduk sebentar di teras, saya berdialog tentang kegiatan menenun yang rata-rata memakan waktu 2-4 minggu. Tergantung ukuran kain. Saya bisa bayangkan begitu telaten jemari tua itu menyatukan helai demi helai benang. Menjadi sebuah kain atau sarung yang elok dengan motif dan warna beragam.
Saya di depan rumah dengan seorang mama yang sebelumnya sedang santai menenun. Wajahnya sangat teduh menatap saya.--