BATU, HARIAN DISWAY- Semula tidak pernah terpikirkan untung dan rugi. Sebab, sejak awal menanam pohon jeruk, hanya untuk hiburan. Namun, kemudian konsep berubah. Dibsuwanto tak sekedar mengejar keuntungan. Dibsuwanto lebih pada keinginan memberikan kenyamanan kepada pengunjung. Juga, memercayakan kebun miliknya kepada para pengunjung.
===================================
KULIT jeruk berwarna kekuningan tergantung utuh di rantingnya. Tanpa sadar, mata Juliarto Simon Kristian Yeremia dan Welly Susanto terus memandang ke arah buah tersebut. Buah ranum itu seolah memanggil minat kedua pria tersebut untuk memetik dan memakannya.
Beruntung, pemilik kebun berukuran 900 meter persegi itu berada tak jauh dari kebun jeruknya. Juliarto langsung menghampiri untuk meminta izin. Tujuannya, mereka bisa masuk ke pekarangan kebun. ”Pak, kalau masuk, ada tiketnya? Bayar berapa?” tanya pria kelahiran Juli 2004 itu.
Dibsuwanto tak banyak bicara. Ia hanya melemparkan senyum manisnya. Guru IPA di SMP Negeri 2 Batu tersebut langsung membukakan pintu besi yang ketika itu dirantai dan digembok. ”Silakan masuk. Makan saja sesukamu. Gratis. Kecuali, kalau bawa pulang baru Anda bayar,” ungkapnya.
Ya, tidak ada sepeser pun uang yang dikeluarkan jika ingin makan di kebun itu. Sang pemilik juga tidak akan menghiraukan seberapa banyak jeruk yang dihabiskan pengunjung. Juliarto langsung masuk. Baru saja masuk, hujan lebat menyerang Dusun Jeding, Desa Junrejo, Kamis, 16 Juni 2022.
Mereka berlarian ke dalam gazebo berukuran 3 x 2 meter persegi. Gazebo itu tidak memiliki dinding. Hanya ada empat tiang dan beberapa lembar atap yang menutupi bagian atas. Gazebo tersebut berdiri persis di ujung kebun.
Bersebelahan langsung dengan pagar besi yang mengitari kebun jeruk itu. Ada meja dan kursi panjang dalam gazebo. Di atas meja terdapat satu tas, tiga gunting, timbangan, ember, dan beberapa plastik. Pemilik kebun langsung membuka ember yang ketika itu tertutup topi.
Beruntung, ada jeruk yang sempat dipetik orang dan diletakkan dalam wadah itu. Ada sekitar delapan buah. Juliarto dan Welly langsung melahap buah itu. Tanpa rasa malu, mereka menghabiskan buah di tempat tersebut. Habis dalam waktu 30 menit. Bersamaan dengan panjang waktu mereka berteduh.
Hujan akhirnya berhenti. Dibsuwanto langsung mengajak dua orang tersebut untuk panen jeruk. Pria 57 tahun itu dengan sabar membimbing Juliarto, memotong buah jeruk itu. Maklum, panen jeruk merupakan pengalaman pertama Juliarto.
Pemilik kebun langsung memberikan gunting kepada remaja itu. Juga, minta Juliarto membawa ember untuk menampung jeruk yang telah dipanen. Jeruk itu dipanen bukan dengan dipetik. Melainkan, rantingnya dipotong dengan menggunakan gunting.
”Untuk panen jeruk, tidak boleh langsung ditarik dari rantingnya. Nanti akan berdampak pada buah selanjutnya. Harus dipotong. Jadi, nanti akan ada daun baru yang tumbuh di ranting yang dipotong itu,” ucapnya sambil memotong beberapa jeruk.
Tetesan hujan yang sempat berhenti kembali turun. Namun, itu tak mematahkan semangat Juliarto memanen buah itu. Pemilik kebun sudah kembali ke gazebo. Usia Dibsuwanto sudah lanjut. Imun tubuhnya tak sekuat dulu. Ia tidak mau sakit karena hujan. ”Saya duluan ke gazebo, ya,” ucapnya.
Ada beberapa buah yang dimakan langsung oleh Juliarto setelah dipetik. Ada juga yang diletakkan ke ember yang dibawa. Setelah itu, buah dalam wadah tersebut langsung dibawa ke gazebo dan ditimbang. ”Uangnya langsung ditaruh dalam tas hitam saja,” jelasnya.
Kebun jeruk itu menerapkan sistem kejujuran. Masuk tidak perlu bayar. Jika pengunjung makan buah di lokasi kebun, juga tidak perlu bayar. Nanti, kalau pengunjung membawa pulang jeruk, itulah yang harus dibayar. Harganya cukup terjangkau. Hanya Rp 17 ribu per kilogram.