Kebaya vs Hijab

Selasa 21-06-2022,05:00 WIB
Reporter : Arif Afandi
Editor : Yusuf Ridho

INI bukan untuk mempertentangkan. Tapi, lebih sekadar catatan tentang fenomena benturan kebudayaan yang sedang berlangsung di depan mata kita. Bagaimana berbagai jenis kebudayaan saling memengaruhi masyarakat kita.

Kebaya yang ciri khas berpakaian bangsa kita mulai tergeser oleh budaya lain. Budaya berpakaian yang lebih dekat dengan budaya Jawa itu berhadapan dengan budaya Arab.

Perlawanan terhadap hal itu bukan tidak ada. Minggu, 19 Juni 2022, sekelompok perempuan menggelar kegiatan. Di area car free day (CFD), mereka berpawai dengan tema Perempuan Berkebaya Indonesia.

Ribuan orang ikut. Termasuk Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi. Lebih dari 3 ribu perempuan mendaftar mengikuti kegiatan tersebut. Selain jalan pagi, mereka ingin menunjukkan kebaya sebagai pakaian asli yang harus dilestarikan.

Gerakan itu menjadi sangat terasa di saat ada pergeseran cara berpakaian orang Indonesia. Dari yang model kebaya menjadi hijab. Jenis pakaian yang lebih berbau Arab. Yang tidak jarang diidentikkan dengan pakaian Islam.

Bahkan, dalam dekade terakhir muncul berbagai model hijab syar’i. Gelombang fashion baru di Indonesia yang diasosiasikan dengan keyakinan agama sebagian besar umat di Indonesia. Bahkan, hijab menjadi potensi industri kreatif yang berkembang dengan pesat.

Fenomena jilbab, misalnya. Alat penutup kepala yang menjadi ciri khas muslimah itu menjadi bagian dari masyarakat Indonesia baru tiga dekade lalu. Empat dekade sebelumnya, pengenaan jilbab masih menjadi kontroversi. Bahkan, menjadi urusan negara.

Pada saat itu, malah ada larangan untuk pelajar atau siswa mengenakan jilbab di sekolah. Juga, sejumlah instansi pemerintahan. Karena itu, mereka yang mengenakan jilbab menjadi terdiskriminasi. Mereka menjadi kaum minoritas di berbagai tempat.

Lantas, apa identitas kemuslimahan saat itu? Para perempuan muslim lebih banyak mengenakan kerudung lepas. Kerudung dipadu dengan kain kebaya seperti yang dikenakan perempuan Indonesia pada umumnya. Ibu Fatmawati – istri Presiden Soekarno – dan Ibu Tien – istri Presiden Soeharto – mengenakan kerudung saat mengikuti acara keagamaan.

Gelombang jilbab hadir bersamaan dengan proses santrinisasi yang melanda masyarakat perkotaan. Kelompok masyarakat yang dulu dikenal dengan kategori Clifford Geertz sebagai abangan, banyak yang meningkat kesadaran beragamanya. Mereka umumnya lebih militan dalam beragama.

Jilbab maupun hijab menjadi tren baru sejak saat itu. Bahkan, tidak jarang seakan-akan ”lebih suci” ketimbang santri lama. Apalagi, kebanyakan santri baru perkotaan menjadi santri para ustad yang berpendidikan dari Arab Saudi dan Timur Tengah.

Persoalan jilbab dan hijab akhirnya berkembang tidak hanya soal fashion, tapi lebih dekat dengan soal keyakinan. Bahkan, ada kecenderungan mereka menyalahkan perempuan muslim yang tak berjilbab dan berhijab. Yang ekstrem menganggap kurang ber-Islam jika tidak mengenakan hijab syar’i.

Sejak saat itu, muslimah yang tak berjilbab menjadi minoritas. Tidak jarang mereka menjadi objek bullying di media sosial. Apalagi, yang tidak berjilbab itu adalah anak seorang tokoh agama, kiai, maupun habib. Itu, misalnya, menimpa Najwa Shihab, presenter TV yang merupakan putri mufasir kenamaan Prof dr Quraish Shihab.

Gelombang itulah yang kemudian menimbulkan kesadaran baru perempuan Indonesia. Menjadikan ”masalah keyakinan” sebagai benturan kebudayaan baru. Benturan antara budaya Nusantara dan budaya Islam yang lebih ke-Arab-Arab-an. Sejak saat itu, persoalan jilbab tidak lagi sekadar urusan fikih (hukum Islam), tetapi menjadi politis.

Sampai kapan benturan kebudayaan seperti itu akan berlangsung? Bisa saja lama jika Islam ”trah suci” tetap mendominasi wacana ke-Islam-an di Indonesia. Bisa berketerusan jika Islam yang mempribumi seperti pernah digaungkan KH Abdurrahman Wahid tidak masuk dakwah perkotaan.

Menutup aurat memang menjadi kewajiban bagi muslimah. Tapi, tidak harus seperti muslimah Arab dalam menutup aurat. Apalagi, sampai mengabaikan warna-warni dalam berpakaian seperti yang selama ini berkembang di kaum perempuan Indonesia, termasuk muslimahnya.

Apalagi, sampai mengubah persepsi pakaian yang baik bagi perempuan seperti disedihkan Ulil Abshar Abdalla. Ketua Lakpesdam NU itu mencemaskan perubahan pandangan yang makin ekstrem tentang pakaian perempuan.

”Saya sedih ketika ada persepsi bahwa pakaian terbaik perempuan adalah menutup rapat badannya, dan tidak warna-warni. Makin gelap, makin baik. Kecantikan perempuan harus ditutup rapat-rapat. Pandangan ini juga mulai muncul di Indonesia,” katanya menanggapi cuitan aktivis perempuan.

Rasanya, kebinekaan negeri ini tetap harus dipertahankan. Sebab, tanpa keragaman bukanlah Indonesia. Negeri ini dibangun melalui konsensus bersama dari berbagai macam agama, ras, dan suku bangsa. Memaksakan budaya tertentu melalui keyakinan akan juga membahayakan ke-Indonesia-an.

Biarlah perempuan Indonesia ada yang berhijab, ada yang berkerudung dan berkebaya, juga perempuan yang hanya berkebaya. Yang tidak patut kalau mereka tidak berpakaian sama sekali. Ups.... (*)

Kategori :