Kebijakan Stabilisasi Harga Minyak Goreng Tidak Efektif

Senin 18-07-2022,06:00 WIB
Reporter : Tofan Mahdi*

KARUT-MARUT persoalan minyak goreng sawit sejak akhir 2021 hingga hari ini tak kunjung usai. Persoalan pasokan minyak goreng bukannya tuntas dengan ketersediaan yang memadai dan harga yang terjangkau, sejumlah kebijakan yang diambil pemerintah justru tidak efektif.

Persoalan minyak goreng tidak tuntas, di sisi lain, kebijakan yang diambil pemerintah justru mendistorsi sektor hulu kelapa sawit.

 

Ekspor CPO Terhambat

Mengatasi persoalan minyak goreng, sejak awal 2022, setidaknya telah dilakukan enam kali perubahan kebijakan. Mulai kebijakan dua harga untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium, kebijakan satu harga, kebijakan DMO ( domestic market obligation) dan DPO ( domestic price obligation) 20 persen dan 30 persen, larangan ekspor CPO (minyak sawit mentah) dan produk turunannya, pemberlakuan kembali DMO dan DPO, hingga flush out (percepatan) ekspor sawit.

Beragam kebijakan tersebut sepintas memang bisa meningkatkan pasokan minyak goreng di pasar domestik dan harga minyak goreng curah makin mendekati HET (harga eceran tertinggi) Rp 14.000 per liter. Namun, di sisi lain, industri hulu sawit yang menjadi gantungan hidup 17 juta masyarakat Indonesia (pekerja dan petani sawit) terdistorsi.

Bagi perusahaan hulu sawit (produsen CPO/minyak sawit mentah), kebijakan DMO dan DPO serta larangan ekspor sawit menghancurkan keberlanjutan usaha sektor hulu sawit. Di bagian lain, dampak dari kebijakan tersebut juga dirasakan para petani kelapa sawit karena harga jual TBS (tandan buah segar) sawit mereka anjlok.

Padahal, periode awal hingga pertengahan tahun 2022, harga CPO pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan, sempat pernah mencapai level tertinggi USD 2.010 per ton (CiF Rotterdam) pada Maret. Sayangnya, ketika harga CPO dunia tinggi, berbagai kebijakan pemerintah justru membatasi ekspor CPO. Kosongnya pasokan minyak sawit dari Indonesia di pasar eskpor menjadi berkah bagi Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar kedua dunia.

Saat ini harga CPO di pasar internasional sudah mulai turun di bawah level USD 1.500 per ton karena pasokan produk minyak nabati global yang mulai stabil. Di dalam negeri, pelaku usaha masih sibuk menormalkan kegiatan ekspor pasca larangan ekspor dan terus melakukan penyesuaian dengan kebijakan DMO dan DPO yang masih berlaku.

Menghadapi situasi yang tidak menguntungkan itu, pemerintah – melalui Kementerian Keuangan – menghapus pungutan ekapor sawit ( levy) hingga 30 Agustus 2022. Meski itu melegakan bagi pelaku usaha, the damage has been done. Pemulihan sektor usaha hulu kelapa sawit membutuhkan waktu lebih lama dan tidak otomatis pulih dengan insentif fiskal yang diberikan pemerintah.

 

Solusi Minyak Goreng

Persoalan minyak goreng adalah persoalan 5 juta ton minyak sawit sebagai bahan bakunya. Ketika harga minyak goreng tinggi karena naiknya harga CPO di pasar internasional, strategi sederhana yang bisa dilakukan adalah menambah pasokan bahan baku sehingga pasokan minyak goreng bertambah dan harga stabil.

Kebijakan lain yang bisa dilakukan adalah memberikan subsidi kepada masyarakat berpendapatan rendah (bantuan langsung tunai) sehingga bisa membantu dalam mengakses harga minyak goreng.

Jika pasokan bahan baku minyak goreng ditambah, taruhlah dua kali lipat menjadi 10 juta ton, kegiatan produksi dan ekspor minyak sawit nasional tidak sampai terganggu.

Tahun 2021, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 52 juta ton dan sekitar 37 juta ton di antaranya terserap di pasar ekspor. Karena itu, ketika Indonesia menghentikan ekspor, pasokan minyak nabati global terganggu dan itu makin mengerek harga berbagai komoditas, termasuk harga CPO.

Harga CPO dunia sudah turun dan seharusnya harga minyak goreng sawit juga sudah turun, tanpa intervensi kebijakan apa pun. Apa yang terjadi pada paruh pertama tahun ini adalah pelajaran bahwa mendistorsi pasar dengan kebijakan hanya akan menjadi bumerang.

Meskipun dalam waktu dekat persoalan minyak goreng di dalam negeri tuntas karena harga bahan baku yang turun, kegiatan usaha sektor kelapa sawit tidak bisa kembali normal dalam waktu singkat. Perlu waktu, bisa setahun dua tahun.

Pembaruan berbagai kontrak ekspor tidak seperti membalik telapak tangan. Tidak semata-mata tentang devisa, tetapi itu juga menyangkut nama baik Indonesia di mata dunia. (*)

*) Peneliti pada Paramadina Public Policy Institute , Jakarta.

Kategori :