SURABAYA, HARIAN DISWAU- Citayam Fashion Week di Jakarta menjadi sorotan publik. Surabaya pun ikut-ikutan. Pemkot Surabaya berencana melakukan itu di wilayah Jalan Tunjungan. Niat itu pun langsung menjadi sorotan Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Menurut Ketua GP Anshor Surabaya M. Faridz Afif, lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) merupakan tindakan yang bertolak belakang dengan agama. Karena itu, ketika akan mengadakan Tunjungan Fashion Week, Pemkot Surabaya harus tetap bijak.
Peserta harus menggunakan pakaian yang wajar. ”Wanita harus menggunakan pakaian wanita. Begitu juga pria. Jangan pria menggunakan pakaian wanita. Jika ada yang melakukan, ya itu harus ditindak. Karena itu merusak moral dan merusak anak muda,” tegasanya beberapa waktu lalu.
Ia pun mengkritik unggahan dalam Instagram dengan akun brojabroo. Dalam postingan itu, seorang pria tampil dengan busana wanita. Warnanya hitam. Di belakang pria itu terdapat sayap kupu-kupu berukuran kecil. Ia berjalan sangat lentur. Persis seorang wanita.
Afif menilai, tindakan itu sangat tidak wajar untuk disuguhkan kepada masyarakat. Seharusnya, influencer sepertinya tidak mencari perhatian warganet dengan cara seperti itu. ”Jangan yang aneh-aneh. Jangan menarik perhatian dengan menggunakan cara yang tidak bermoral,” imbuhnya.
Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah (PDPM) Achmad Rosyidi menyatakan senang dengan rencana akan dilaksanakannya Tunjungan Fashion Week.
Sebab, acara itu bisa menjadi tempat anak muda untuk mengembangkan kreativitas. Namun, kegiatan tersebut seharusnya tidak melanggar aturan agama. ”Jelas dalam agama mana pun, itu tidak boleh,” ucapnya.
Di sisi lain, Ketua 1 PGI Wilayah Jawa Timur Andri Purnawan mempunyai pandangan berbeda. Menurutnya, masyarakat seharusnya bisa membedakan orientasi seksual dan kebebasan berekspresi. ”Laki-laki berdandan perempuan itu konstruksi sosial,” katanya, Minggu, 31 Juli 2022.
Dengan begitu, ia berkesimpulan, seorang pria yang berpenampilan seperti perempuan itu adalah kebebasan berekspresi. Terkecuali jika mereka (LGBT) sudah melakukan pesta seks. Tindakan itu tersebut harus dilarang keras.
”Kasihan mereka kalau selalu mendapat penolakan. Seharusnya, kita merangkul mereka. Lalu, membantu mengarahkan mereka. Jangan sampai, tindakan mereka malah menjadi penyimpangan seks. Akhirnya malah suka sesama jenis,” imbuhnya.
Sementara itu, menurut data lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 10–17 Mei 2022, sebanyak 44,5 persen menghargai LGBT sebagai sesama manusia.
Sebaliknya, 49,3 persen publik Indonesia tidak setuju menilai LGBT sebagai perilaku manusia. Sisanya, 6,2 persen menyatakan tidak tahu atau enggan memberikan jawaban. (*)