Mengenang Sejarah Pementasan lewat Foto dan Properti 29 Tahun Teater Api Indonesia

Selasa 02-08-2022,07:07 WIB
Reporter : Guruh Dimas Nugraha
Editor : Heti Palestina Yunani

Dalam pernaskahan, pasca-penggarapan naskah Caligula karya Albert Camus dan Laboratorium Gila karya Ken Kesey, lakon-lakon pilihan dan karya Teater Api Indonesia tidak lagi menggunakan naskah tertulis sebagai manuskrip lakon pertunjukan.

Meski masih menggunakan sinopsis sebagai pengantar pertunjukan, dialog-dialog kecil, struktur adegan, penokohan dan penyutradaraan layaknya teater modern, Teater Api Indonesia memilih melakukan pendekatan pada realitas dan tema-tema keseharian. Sehingga pertunjukannya dapat terasa seperti teater tradisional Nusantara. 

Seperti dalam pementasan Cok Bakal, sapu lidi tolak bala yang dipajang dalam pameran tersebut digunakan kembali sebagai properti. Para aktor berkeliling dari patung Joko Dolok hingga halaman depan Balai Pemuda. 


Selain foto-foto, ada beberapa properti pementasan Sri Minggat dipajang. Lakon itu pernah dipentaskan Teater Api Indonesia pada 2019.

Di depan Gedung Grahadi, mereka melakukan semacam ritual pengusiran energi negatif, seperti yang dilakukan masyarakat agraris Jawa. 

Salah satu aktor saat itu, Naryo Pamenang, membawa empat sapu lidi, kemudian meletakkannya ke arah empat penjuru mata angin. Kiblat papat limo pancer. Dalam khasanah ilmu Jawa, manusia sebagai pusat atau pancer, dikelilingi oleh empat saudara gaib yang menyertai dari empat penjuru mata angin. 

Sapu-sapu lidi itu diletakkan dengan gagang di bawah. Sedangkan batang-batang lidinya mengarah ke atas. ”Dalam konsep itulah Teater Api Indonesia menampilkan aspek tradisi tiap pementasan kami,” ungkapnya. 

Acara peringatan 29 tahun Teater Api Indonesia diselenggarakan selama tiga hari. Dari 29-31 Juli 2022. Hari kedua digelar launching buku 29 Tahun Perjalanan Teater Api.

Pada hari terakhir dilangsungkan diskusi bertema perjalanan dan eksistensi Teater Api Indonesia. Lalu pementasan Sri Minggat, yang dibawakan Muhammad Wail, aktor Teater Payung Hitam, Bandung. 

Tokoh Sri dikisahkan sebagai salah satu dari jutaan perempuan yang bertekad menyerahkan hidupnya pada mimpi-mimpi tentang surga. Perempuan yang selalu mencari pintu-pintu surga dengan meledakkan tubuh anak-anaknya untuk membinasakan perempuan dan anak-anak serta keluarga-keluarga lain. 

Perempuan yang selalu bersembunyi dan menutup pikiran serta mata hati dengan kerudung hitam. Perempuan yang telah hijrah, lalu mengendap-endap dalam kegelapan, memaki-maki dan mengayunkan sebilah pedang serta rakitan bom yang siap diledakkan. 

Wail menutup seluruh wajahnya dengan selotip ala police line. Duduk di atas lembaran seng.Ia bergerak, membentur-benturkan tubuhnya dalam miniatur tubuh manusia yang juga terbuat dari seng. Sehingga terdengar suara bising.


Untuk mengilas balik 29 tahun perjalanan, pengunjung bisa menikmati sejumlah foto dan properti tentang Teater Api Indonesia di Galeri Surabaya.

Pementasan tersebut menggambarkan seorang perempuan yang telah kehilangan akal sehatnya. Perempuan yang berniat hijrah, namun demi agama dia mengorbankan nyawa dirinya, juga anak-anaknya. 

Sri ditampilkan sebagai perempuan yang telah berubah. Jika dulu perempuan diagungkan dalam  tembang-tembang tentang kebesaran hati serta naluri kemanusiaan, perempuan seperti Sri dalam Sri Minggat, tinggal menjadi serpihan tubuh yang mengorbankan diri atas nama agama dan Tuhan, dengan membawa serta buah hatinya. 

Dalam buku 29 Tahun Perjalanan Teater Api, Wiji Utomo, salah satu anggota, menuliskan bahwa proses semacam itu telah berlangsung sejak tahun 1995 hingga sekarang. ”Teater Api Indonesia telah meyakini dan membawa Teater Transisi sebagai konsep garapan artistiknya dalam mempertahankan eksistensi,” ungkapnya.

Tags :
Kategori :

Terkait