Ritus Suro Para Penghayat Kepercayaan (2); Gambyong Sambut Manggasri Suro

Kamis 04-08-2022,08:34 WIB
Reporter : Guruh Dimas Nugraha
Editor : Heti Palestina Yunani

Bertempat di kediaman Legino Marto Wiyono, pandita pusat Budda Jawi Wisnu, para siswa yang menggelar Manggasri Suro berkumpul dalam posisi saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka ada meja panjang untuk meletakkan sajian-sajian bagi para Dewa dan leluhur.

Bulan Suro bagi para penghayat kepercayaan merupakan bulan sakral. Khususnya bagi agama Jawa. Berbagai hal dilakukan. Penghayat Budda Jawi Wisnu menggelar parade busana Jawa serta ritus Manggasri Suro. 

Setelah penghayat Sapta Darma mengadakan upacara Suro pada Jumat, 29 Juli 2022, keesokan harinya, 30 Juli, mereka berpartisipasi dengan para penghayat kepercayaan yang tergabung dalam Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) bersama berbagai komunitas pelestari budaya. 

Momentum bulan Suro bagi mereka merupakan sarana pengenalan kembali terhadap tradisi leluhur kepada publik Surabaya. “Termasuk mengenalkan busana adat Jawa seperti kebaya yang lambat laun mulai tergeser oleh busana modern,” ujar Ki Sudiro, Dewan Presidium 1 MLKI. 


Para penghayat kepercayaaan yang tergabung dalam MLKI menandai bulan Suro dengan mengenalkan kembali tradisi leluhur kepada publik Surabaya. Mereka menggelar parade busana Jawa hingga menarik perhatian. -ALFIYANTO-

Di depan Gedung Grahadi, Surabaya, di depan panggung, MLKI beserta berbagai komunitas, yakni: Paguyuban Budaya Surabaya (PBS), Pecinta Budaya Nusantara (PBN), Perempuan Bersanggul Nusantara, Perkumpulan Pranata Adicara Nusantara (PAPAN), Pambiwara Indonesia, Padma Seni Budaya Paseban-Nusantara dan Persatuan Pedalangan Indonesia (PEPADI). 

Para perempuan bersanggul, berkebaya, mengenakan jarit dan selendang, tampak anggun. Mereka mempertunjukkan busana khas Jawa bersama para pria yang mengenakan pakaian Jawa. 

Ratna Yuni, ketua Perempuan Bersanggul Nusantara ranting Surabaya, menyambut baik gelaran Gebyar Busana Adat Jawa tersebut. “Bulan Suro, bulan sakral bagi orang Jawa. Maka mari kita nguri-uri, melestarikan kembali tradisi leluhur kita,” ujarnya. 


Para perempuan bersanggul, berkebaya, mengenakan jarit dan selendang, tampak anggun. Mereka mempertunjukkan busana khas Jawa bersama para pria yang mengenakan pakaian Jawa.

Selain Sapta Darma, berbagai penghayat kepercayaan lain juga hadir dalam kegiatan yang diselenggarakan sejak pukul 7 pagi itu. Seperti Aka Nugroho, penghayat Ngudi Utomo. “Acara ini selain bertujuan nguri-uri, juga memperkuat kebersamaan kami sebagai pelestari budaya Jawa sekaligus sesama penghayat kepercayaan,” ungkapnya. 

Berbeda dengan Sapta Darma dan berbagai komunitas yang memeringati Suro pada H-1 dan hari H, penghayat Budda Jawi Wisnu memperingatinya. Kepercayaan tersebut memiliki konsepsi tersendiri soal bulan Suro. 

Beberapa penghayat tetap memeringati Suro sebagai upaya nguri-uri, melestarikan apa yang ditetapkan oleh Sultan Agung beberapa abad lalu sebagai Tahun Baru Islam yang diperingati sebagai Tahun Baru Jawa. Bagi Budda Jawi Wisnu, mereka memeringatinya sebagai bulan suci Manggasri Suro. 

Bertempat di Bratang Gede III-i, kediaman Legino Marto Wiyono, pandita pusat Budda Jawi Wisnu, puluhan siswa atau penganut kepercayaan tersebut berkumpul saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka adalah sebuah meja panjang. Saat ritus dimulai, akan diletakkan sajian-sajian untuk para Dewa dan leluhur di meja itu. 

Di sudut timur terdapat panggung sederhana dengan dipayungi terop. “Manggasri Suro kali ini kami akan menampilkan tari gambyong,” ujar Legino. Tarian tersebut dibawakan oleh empat orang penari, dipimpin cucunya, Wahyu Dwi Sri Gumelar. 

Tari gambyong merupakan wujud rasa syukur terhadap berkat Dewi Sri, Dewi Kesuburan Pertanian yang merupakan istri atau sakti Batara Wisnu, Dewa utama dalam kepercayaan Budda Jawi Wisnu. Manggasri dari kata mangga. Artinya memersilahkan Dewi Sri untuk hadir dan memberi keberkahan bagi kita semua,” terangnya. 

Tags :
Kategori :

Terkait