Sedangkan Suro merupakan penyederhanaan kata dari Suralaya yakni alam para Dewa. “Kami meyakini bahwa pada bulan Suro, energi dari alam Dewa turun ke dunia. Saat itulah manusia diciptakan,” terang pria 79 tahun itu.
Mereka meyakini pula bahwa perayaan Suro telah lestari sejak era Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia, khususnya dalam lingkungan masyarakat agraris. “Sebab para pemuja Wisnu sebagai pemelihara alam semesta, eksis dalam masyarakat agraris,” terang Tjahja Tribinuka, salah satu penganut Budda Jawi Wisnu.
Maka konsepsi Manggasri Suro yang dilakukan Budda Jawi Wisnu sama sekali lepas dari pendapat umum, utamanya terkait penyesuaian yang dilakukan sejak era Sultan Agung. “Soal data tentang itu, tak usah diperdebatkan. Kami memiliki keyakinan dan ritus khusus Suro yang kami selenggarakan secara turun-temurun. Landasan kami adalah keyakinan agama,” tuturnya.
Pada perayaan Manggasri Suro, beberapa penghayat kepercayaan lain turut hadir. Seperti Eko Suharmanto, pemeluk Sapta Darma. “Setiap ada saudara penghayat yang sedang punya hajat, yang lain pasti hadir. Kami dalam wadah MLKI ini rukun, guyub dan saling menghargai,” ungkapnya.
Bertempat di kediaman pandita pusat Budda Jawi Wisnu, para siswa yang menggelar Manggasri Suro berkumpul dalam posisi saling berhadapan. Di tengah-tengah mereka ada meja panjang untuk meletakkan sajian-sajian bagi para Dewa dan leluhur.
Setelah menikmati sajian tari gambyong, pemeluk Budda Jawi Wisnu mulai mengadakan ritus utama Manggasri Suro. Beragam sajian diletakkan di atas meja panjang.
Makanan utama yang dipersembahkan kepada Dewa tertinggi, Batara Wisnu adalah ayam kampung utuh. Diletakkan di atas baskom tertutup berisi sekul suci, atau nasi gurih seperti nasi uduk. Di sebelahnya terdapat setandan pisang raja dan segelas plastik berisi bunga empat rupa dan sirih.
Perlahan, doa memulai acara dipanjatkan: Ngaturaken sembah sungkem mugi kunjuk panjenenganipun Gusti Hulun Hyang Batara Wisnu, kerso paring sabda rahayu.
Para penghayat Budda Jawi Wisnu menyampaikan doa mereka pertama kali kepada Dewa Wisnu sebagai Dewa utama. Seluruh doa dilantunkan dalam bahasa Jawa oleh Legino. Diikuti para penghayat Budda Jawi Wisnu. Semua Dewa hingga leluhur tanah Jawa disebutkan satu per satu berikut sajian yang mereka haturkan.
Para penghayat lain berdoa menurut kepercayaan mereka masing-masing. Ritus Manggasri Suro ditutup dengan pembacaan: Mugia ing dinten manggasri suro, para kadang Budda Jawi Wisnu ketampi dening panjenenganipun para leluhur tanah Jawi sedaya. Rahayu, rahayu, rahayu.
Doa tersebut menyelipkan harapan bahwa persembahan mereka dapat diterima oleh para Dewa dan leluhur tanah Jawa. Selanjutnya, semua orang menikmati sajian bersama-sama.
Beberapa orang menyimpan bunga empat rupa dan sirih yang diletakkan dalam gelas air mineral. Tusuk sate ayam panggang yang dipersembahkan kepada Batara Wisnu dan beberapa batang tusuknya dibawa pulang. Benda itu dipercaya memberi berkah dan menangkal energi negatif sebagai tolak bala.
Pukul sebelas malam, ketika sebagian besar tamu telah pulang, para penghayat Budda Jawi Wisnu berkumpul di depan sanggar, di rumah Legino. Secara khusus mereka mengadakan upacara lanjutan. Yakni semadi, memanjatkan doa pada hadirat Hyang Bathara Wisnu. (*)