HUT ke-77 Kemerdekaan RI ini tidak ujug-ujug. Melalui jalan panjang perjuangan sekaligus gelora mempertahankannya. Apalagi kini untuk mengisinya.
Pada 17-24 November 1945, Tan Malaka menyaksikan dahsyatnya peperangan yang revolusioner di Surabaya dalam rangka mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pengamatan dan persaksian heroik itu dituang dalam "naskah drama” politik yang mengemukakan celoteh tangkas antar-rakyat yang diwakili tokoh rekaan bernama Mr. Apal (mewakili para ilmuwan), Toke (wakil pedagang kelas menengah), Pacul (merepresentasikan nama lugas kaum tani), Denmas (si ningrat yang perlente), dan Godam (representasi kaum buruh).
Merdeka 100 Persen
Merdeka 100 persen merupakan inti perjuangan yang dianggitkan Tan Malaka. Dalam tulisannya yang berjudul Gerpolek (Gerilya-Politik-Ekonomi), Tan Malaka mengemukakan pikiran yang masih sangat relevan, bahkan nyaris sempurna menggambarkan kondisi sekarang ini.
Sekilas dapat dicerna dalam nukilan tematis ini: "... Revolusi Indonesia mau tak mau terpaksa mengambil tindakan ekonomi dan sosial serentak dengan tindakan merebut dan membela kemerdekaan 100 persen. Revolusi Kemerdekaan Indonesia tidak bisa diselesaikan dengan dibungkus dengan Revolusi Nasional saja. Perang Kemerdekaan Indonesia harus diisi dengan jaminan sosial dan ekonomi sekaligus. Tetapi jika pemerintah Indonesia kembali dipegang oleh kaki tangan kapitalis asing walaupun bangsa Indonesia sendiri, dan 100 persen perusahaan modern berada di tangan kapitalis asing, seperti di zaman Hindia Belanda, maka Revolusi Nasional itu berarti membatalkan Proklamasi dan Kemerdekaan Nasional dan mengembalikan kapitalisme dan imperialisme internasional… pada 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia sudah menetapkan hendak merdeka dan memutuskan semua macam belenggu yang diikatkan oleh bangsa asing kepadanya…”
Ungkapan Tan Malaka sengaja dikutip untuk mengenang semangat tokoh yang acap kali ditulis miring oleh sejarah bangsa ini. Apapun yang terjadi, pada tataran rakyat perkampungan sekarang ini adalah tetap tampak semringah dengan kesedihan yang terpendam.
Lihatlah. Peringatan HUT RI 17 Agustus 1945 2022 ini tampil berwarna meriah. Meski ada yang menyesak publik akibat ulah Irjen Ferdy Sambo. Tapi semarak merayakannya dan renungan berdoa tetaplah dihelat penuh hikmat di lorong-lorong perkotaan maupun kampung-kampung perdesaan.
Lupakan sejenak tentang itu semua. Kini tataplah mengapa Agustusan 2022 benar-benar memukau yang berbarengan melelehkan kesedihan dalam hitungan hari kehidupan akibat “lakon penembakan”. Apa yang mencuat di kepolisian adalah contoh belum tuntasnya kepelikan bangsa di HUT ke-77 Indonesia merdeka.
Untung pekik merdeka masih lantang dikumandangkan. Bahkan saat ini "merdeka” adalah sebuah kata yang begitu rajin ke luar dari mulut semua anak bangsa. Tidak ada gema kata merdeka sedemikian terang selain di acara Agustusan. Panggung Agustusan terasa menjadi milik kata merdeka.
Selebihnya di bulan-bulan non-Agustus, kata merdeka menjadi tanda tanya dan begitu pelit dan irit untuk diungkapkan. Pekik merdeka memang penanda gairah di acara Agustusan. Sebuah kata dengan segala ritme historisnya adalah doa kesucian sebagaimana lagu Indonesia Raya. Sebuah ucap adalah sebuah doa yang kepada-Nya kita panjatkan, persis acara panjat pinang meski para politisi suka-suka saling pinang. Apalagi di "maraton” pemilu 2024.
Titik Kita Merdeka
Semoga Indonesia merdeka 100 persen dengan semua anak bangsanya yang berbuat terbaik bagi tanah airnya.
Kata merdeka memiliki bobot spiritual tersendiri justru dalam ketersendirian problem hidup bernegara. Dapat dikatakan dengan terang apakah dan kapankah kita merdeka sesungguhnya? Kalaulah sekarang kita ucapkan dengan kedalaman ruhani kata merdeka, sepatutnyalah semua bertanya: kemerdekaan macam apa yang telah kita rasakan?
Kemerdekaan tentu bukan sekadar kebebasan dari penjajahan Londo yang kelunto-lunto dan Jepang yang mati nggelempang. Merdeka secara hakiki yang sudah diperankan dalam negara seyogianya merembes ke dalam jiwa setiap warganya.