Di sepanjang jalan di kota tua Dresden berderet kastil-kastil yang indah. Dengan ragam ukiran burung, singa, dan dewa dewi.
Sayang kami tak sempat berkunjung ke Museum Green Vault yang menyimpan kekayaan harta karun terbesar di Eropa. Museum yang disebut Grünes Gewölbe dalam bahasa Jerman itu menampilkan benda-benda kerajaan dari emas, perak, dan permata. Kayaknya kinclong sekali dalamnya.
Di tengah kota, kami menemukan ferris wheels atau bianglala. Wah ini sih favorit anak-anak. Mengingat seumur-umur saya belum pernah naik, kami semua sepakat naik wahana ini.
Tiket untuk orang dewasa 8 Euro. Anak-anak di atas 1,4 meter sebesar 6 Euro. Bayi gratis. Total berempat 22 Euro atau sekitar Rp330 ribu. ”Tak masalah. Namanya jalan-jalan kudu bondo. Sesuailah dengan pengalaman indah yang anak-anak rasakan,” kata suami saya.
Bila anak-anak excited, suami saya malah sempat pucat. Maklum, dia takut ketinggian. Setelah mengumpulkan keberanian, kami akhirnya sukses melewatkan tantangan ferris wheels yang bernama The Wheel of Vision itu. Artinya roda penglihatan. Mungkin maksudnya, kita bisa melihat pemandangan menakjubkan dari atas rodanya yang berputar.
Bergerak pelan-pelan, bianglala mencapai puncak. Tidak sekali lho. Lima kali. Dari atas, tampak keindahan Dresden. Terlihat Istana The Zwinger yang sudah kami kunjungi dan tram-tram dan bus yang membawa para penumpang.
Lepas menaiki ”putar-putar” -sebutan anak saya untuk ferris wheels- kami menuju ke rumah seorang diaspora Indonesia yang tinggal di Dresden. Mbak Grace Dina dan Mas Wildan Abdussalam.
Di sepanjang jalan menuju ke lokasi, kami melihat suasana perumahan warga dari dekat. Sebagian besar berupa apartemen. Mirip seperti di bagian Eropa lainnya.
Biasanya, di depan flat, ada kotak pos lengkap dengan nama pemilik dan bel rumah. Tinggal pencet bel itu. Jika sudah diangkat, pintu terluar akan terbuka.
Mbak Grace menyambut hangat. ”Di sini ada puluhan mahasiswa Indonesia,” ungkapnya. Maklum banyak kampus terkenal di Dresden. Salah satunya kampus Dresden University of Technology.
Selain itu, kota ini populer sebagai tempat wisata karena begitu penuh sejarah. Enaknya lagi –kata Mbak Grace- Dresden ramah kepada pengunjung dan warga Muslim. Ada masjid dan kelompok pengajian.
Takjub saya. Ternyata ada hidden gem yang perlu dikunjungi oleh warga Indonesia yakni tempat di mana Raden Saleh Syarif Bustaman dari Jawa melukis.
Bapak seni luksi modern Indonesia itu melukis Blue House atau rumah biru di Maxen. Tidak jauh dari Dresden. Rumah dengan kubah berbentuk seperti masjid lengkap dengan ornamen seperti bulan di atasnya.
Kami di rumah keluarga diaspora Indonesia yang tinggal di Dresden, Mbak Grace Dina dan Mas Wildan Abdussalam. Di sini kami disuguhi bakso.
Sambil mengobrol, kami mendapat suguhan bakso yang lengkap. Masyaallah nikmatnya setelah capek berjalan. Terima kasih untuk semuanya ya Mbak Grace.
Meskipun hanya dua kota, jalan-jalan ke Jerman sangat berkesan. Berat sekali rasanya berpisah. Wir sehen uns wieder. Semoga kita berjumpa kembali, Jerman. (Oleh Munir Al Shine: ibu dua anak, diaspora Indonesia yang tinggal di Estonia)
Setelah Jerman, Europe Trip dilanjutkan ke Ceko, baca selanjutnya...