SURABAYA, HARIAN DISWAY - Kasus tawuran di Surabaya marak terjadi beberapa bulan terakhir. Kasus terakhir terjadi di Jalan Basuki Rahmat antara dua kelompok silat, Minggu, 25 September 2022. Beberapa hari sebelumnya juga terjadi tawuran di Jalan Upa Jiwa.
Psikolog yang juga Anggota Komisi D DPRD Surabaya Herlina Harsono Njoto melihat fenomena itu semakin marak terjadi dan makin berkembang selama pandemi. “Tawuran jelas bukan kultur Surabaya,” kata Herlina, Senin, 26 September 2022. Namun, kini tawuran bak jamur dan pandemi adalah hujannya. Tumbuh subur. Data PBB menyebutkan bahwa 84 persen tawuran dilakukan oleh masyarakat di usia pelajar. 10-17 tahun. Nah, selama 2020-2021 kegiatan di sekolah banyak ditiadakan. Hal inilah yang memicu pelajar mencari aktivitas lain. Sebagian pelajar yang salah langkah bahkan bisa terjerumus ke lingkaran gangster.Kroban tawuran mengalami luka-luka di Jalan Upa Jiwa dirawat petugas PMI Surabaya, sebelum dibawa ke RSUD dr Soetomo 23 September lalu.-Humas Satpol PP Surabaya- Dari kacamata psikologi, masa remaja adalah tahap pencarian jati diri. Saat kapasitas emosi masih labil dan cara berpikir terbatas, remaja bisa mengambil tindakan tanpa berpikir panjang. Saat remaja bergabung ke kelompok pesilat, hasrat eksistensi juga muncul. Muncul pula rasa cinta atas kolompoknya. Nah, tawuran seolah-olah jadi pembuktian eksistensi dan wujud rasa cinta itu. Sikap mental itulah yang memudahkan remaja melakukan tindakan nekat. “Semua faktor itu didorong pula dengan era medsos. Perselisihan di dunia maya bisa berlanjut ke jalan raya,” lanjutnya. Medsos juga mempercepat proses mobilisasi masa. Saat ada satu kawan dari bendera organisasi atau geng yang sama diserang, mereka dengan mudah berkoordinasi lewat handphone . Di sisi lain gangster dan pesilat seringkali mendapat stigma buruk di masyarakat. Kondisi itu justru jadi stimulus bagi remaja untuk berperilaku sesuai hal yang dicitrakan. Herlina melihat munculnya subkultur atau perilaku dan kepercayaan yang melenceng dari kebudayaan induk mereka. “Budaya induk Surabaya memang wani atau berani. Tapi yang terjadi sekarang justru tradisi sok jagoan,” jelas kata perempuan yang sedang menempuh S3 Psikolog di Universitas Airlangga itu. Peran orang tua dan sekolah jadi kunci. Nasihat saja tidak cukup. Para remaja perlu aktivitas yang positif dan produktif. “Dan ini bisa digencarkan karena pandemi sudah lewat,” lanjut politisi Demokrat itu. Sementara itu, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya mulai menggalakkan program Sahabat Satpol PP Goes to School . Eddy Christijanto Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Surabaya, Senin (26/9/2022) mengatakan, program tersebut menyasar para pelajar SMP dan SMA sebagai upaya pemkot untuk mencegah terjadinya tawuran antar remaja. “Program ini bertujuan untuk memberikan edukasi kepada para pelajar, khususnya dalam upaya perlindungan terhadap anak sekaligus menciptakan ketentraman dan ketertiban di Kota Pahlawan,” ujarnya seperti dirilis Pemkot Surabaya. Jajaran Satpol PP Surabaya mendatangi setiap sekolah untuk memberikan sosialisasi. Terutama soal konsekuensi kenakalan remaja. “Kami menyampaikan sosialisasi terkait dengan pemahaman mereka terhadap peraturan. Kami sampaikan dengan cara yang fun and games karena tujuannya supaya mereka paham,” ujar dia. Selain menggalakkan program Sahabat Satpol PP Goes to School , pihaknya juga rutin menggelar patroli gabungan untuk mencegah terjadinya tawuran setiap malam.
Sosialisasi Satpol PP Surabaya ke pelajar dengan tema Sahabat Satpol PP Goes to School.-Humas Satpol PP Surabaya- Satpol PP menggandeng, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), TNI, Polri, Dinas Perhubungan, dan Dinas Sosial. Setiap grup berisi 20 personel. Mereka juga sudah memetakan kawasan rawan tawuran di Surabaya. Yakni: Jalan Indrapura, Jalan Dupak, Jalan Tanjung Sari, Jalan Banyu Urip, Jalan Kedungdoro, Jalan Diponegoro. Jalan Wonorejo, Jalan Kenjeran, Jalan Kedung Cowek, Jalan Pogot, Jalan Wonokusumo, Jalan Kaliondo, Jalan Kapasan hingga Jalan Undaan Surabaya juga rawan. (*)