PERANG antara Rusia dan Ukraina yang belum berakhir, inflasi dan potensi resesi ekonomi di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, kecenderungan negara maju makin proteksionis, serta bangkitnya Republik Rakyat Tiongkok sebagai kekuatan utama baru dunia adalah beberapa peristiwa yang membuat banyak ekonom dan pengamat geopolitik bertanya: apakah globalisasi akan berakhir?
Mengapa kemudahan akses dan komunikasi antara masyarakat di suatu negara dengan negara lain, baik secara fisik maupun virtual dengan dukungan teknologi komunikasi digital, tidak membuat peradaban dunia menjadi lebih baik?
Kesenjangan kesejahteraan antarnegara juga masih terjadi. Negara-negara Barat dan maju masih mendominasi ekonomi global, negara-negara miskin tidak bisa keluar dari kemiskinan, dan negara berkembang tetap berada dalam kondisi jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap). Apakah ini sebuah pertanda akan segera berakhir era globalisasi?
Meskipun telah menjadi diskursus dalam arus utama, tidak semua pengamat geopolitik dan ekonom sepakat bahwa globalisasi akan berakhir. Thomas L. Friedman, kolumnis New York Times dan penulis buku The World is Flat, adalah salah seorang pengamat yang tidak setuju bahwa globalisasi akan berakhir.
Dalam berbagai forum, salah satunya dalam salah satu sesi diskusi pada World Economic Forum (WEF) di Davos, 2 Juni 2022, Friedman menyampaikan pendapatnya tentang globalisasi yang masih akan bertahan.
Tentu saja perjalanan globalisasi itu tidak linier atau tegak lurus, tetapi ada dinamika naik dan turun. Tetapi, berbagai dinamika tersebut tidak serta-merta akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa globalisasi akan berakhir.
Dalam diskusi yang dipandu Managing Director WEF Adrian Monck, Friedman menyampaikan sejumlah argumentasi mengapa globalisasi tidak (akan) pernah berakhir. Bahkan, kata Friedman, globalisasi justru akan makin kuat bila dibandingkan dengan era-era sebelumnya.
Mengapa? Berikut sejumlah argumentasi Friedman:
Pertama, di masa lalu, untuk bisa go global, kita harus menjadi sebuah negara atau setidaknya menjadi perusahaan. Namun, di era teknologi komunikasi digital saat ini, seorang individu pun bisa berkiprah secara global, tanpa menggantungkan diri kepada sebuah negara atau perusahaan.
Teknologi komunikasi digital itu sendiri telah membuat setiap individu dari negara mana pun di dunia ini menjadi global. Dan, ini baru kali pertama terjadi dalam peradaban umat manusia.
Kedua, Friedman menulis buku dengan judul The World is Flat. Dalam buku itu, Friedman tidak ingin mengatakan bahwa setiap manusia adalah setara. Friedman juga tidak ingin mengatakan bahwa batas (fisik) antarnegara itu akan musnah.
Kemiskinan dan kesenjangan di antara negara-negara di dunia masih akan terjadi. Namun, sesuatu yang besar telah terjadi dan akan terus terjadi saat ini, yakni masyarakat di dunia bisa berinteraksi secara global dengan lebih cepat dan biaya lebih murah.
Jadi, teknologi tidak hanya melahirkan negara-negara superpower atau perusahaan multinasional yang berdiri di berbagai negara di dunia. Tetapi, teknologi digital juga melahirkan individu-individu yang super berdaya dan memberikan kontribusi besar secara global.
Ketiga, Friedman setuju bahwa dinamika globalisasi akan selalu naik dan turun, perdagangan dunia juga naik dan turun, tidak pernah linier. Namun, itu bukan berarti bahwa globalisasi akan mati.
Sebagai seorang jurnalis dan kolumnis, Friedman tidak boleh selalu optimistis dalam melihat masa depan. Sebab, itu adalah sebuah utopia (khayalan). Di era teknologi digital, khayalan untuk selalu melihat segala sesuatunya akan baik di depan disebut techno utopia. Dunia akan selalu dinamis, naik dan turun, tetapi bukan berarti globalisasi akan mati.