”Martir” Damai Sepak Bola

Kamis 06-10-2022,05:30 WIB
Reporter : M. Taufik Lamade

Persahabatan keduanya sudah lama. Sekitar tahun 1990 akhir, saya menyaksikan sendiri. Para Bonek berkunjung ke Bandung. Tentu mendukung Green Force melawan tuan rumah Persib. Polisi sibuk di Stasiun Hall, Pasir Kaliki, Bandung, merazia Bonek agar mudah diatur. Maklum, di luar stasiun banyak Bobotoh. Saat bertemu, mereka malah salam-salaman. Tugas polisi pun jadi enteng. 

Juga, ada poros Malang-Jakarta. Ini koalisi Aremania dan The Jak. Mereka juga saling dukung. Arema rival Persebaya, Persib rival Persija. Selama ini, dua poros itu ikut mewarnai. 

Tragedi Kanjuruhan menjadi sejarah sepak bola paling tragis di tanah air. Jumlah korban meninggal yang mencapai 125 jiwa (ini patokan dari Kapolri) membuat internasional  berduka. Pertandingan di seantero  dunia mengheningkan cipta dan pemain mengenakan pita hitam. 

 Langkah sejumlah suporter klub untuk berdamai di balik duka ini harus terus didorong. Pencinta sepak bola harus makin sadar bahwa kemanusiaan harus dijunjung. Menyelamatkan nyawa manusia lebih penting.

Yang paling penting, bagaimana perdamaian suporter klub ini menjadi permanen. Bagaimana saling respek Bonek dan Aremania menjadi selamanya. Bagaimana deklarasi damai  suporter sembilan klub di Yogyakarta tetap terjaga. 

Apakah dengan membuat monumen tragedi Kanjuruhan di semua stadion home base klub? Apakah di setiap awal pertandingan (selamanya) harus ada mengheningkan cipta agar semua yang di lapangan selalu ingat tragedi Kanjuruhan? Atau cara lain? Agar pengorbanan mereka yang menjadi ”martir” sepak bola di Kanjuruhan tidak sia-sia. (*)

 

 

 

 

Kategori :