SURABAYA, HARIAN DISWAY - Terinspirasi dari Machinehamlet karya Heiner Muller, Teater Api Indonesia mementaskan Toean Markoen. Berkisah tentang laju pembangunan yang memakan korban: manusia dan lingkungan.
--
Panggung gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya gelap gulita. Lampu ruangan dimatikan. Sirine meraung, memekakkan. Derap langkah berat. Seorang aktor bergerak ke tengah panggung dengan ekspresi gelisah.
Ia menghampiri instalasi bingkai besar yang terpasang di tengah gedung. Tanpa suara, hanya gerakan. Melangkahkan kaki seolah ingin keluar dari bingkai, lalu kembali lagi.
Menyeret bingkai tersebut ke kanan dan ke kiri. Memanggul benda berukuran besar tersebut sembari terengah. Seperti mengilhami derita Yesus ketika memanggul salib-Nya ke Golgota.
Toean Markoen. Judul pementasan Teater Api Indonesia. Luhur Kayungga, sutradara, coba mengurai permasalahan pembangunan yang membawa dampak buruk. “Baik bagi sosial masyarakat, kesehatan dan kerusakan lingkungan. Laju pembangunan yang tak dibarengi dengan kesadaran merawat,” ungkapnya.
Tiga instalasi seng berukuran raksasa tergantung di sisi belakang. Simbol gedung-gedung hasil pembangunan itu. Di badan instalasi tersebut penuh gambar tengkorak.
Tiap sisinya tersambung dengan pengikat plastik besar. Teater Api Indonesia coba memaknai kerapuhan di balik kemegahan. Beberapa aktor lain tampil dengan masker gas dan pakaian serba tertutup. Membawa cerobong dari alumunium kemudian dihentakkan ke lantai berulang-ulang. Mahamuni Paksi, penata suara, sebagian besar memanfaatkan suara noise alami dari bahan tersebut.
Dedi Obeng, aktor senior Teater Api Indonesia tampil mengenakan pakaian perempuan. Glamour bak sosialita. Membuang sampah ke berbagai arah, dengan diiringi tiga bodyguard berpakaian formal. Bermakna bahwa gaya hidup manusia, tanpa disadari membawa dampak buruk bagi lingkungan.
Tiga aktor bertelanjang dada dan bersarung. Mengais sisa-sisa sampah yang dibuang oleh aktor Dedi. Slamet Gaprax, salah satu dari tiga aktor bersarung, terlihat dominan bergerak. Memukul-mukul seng raksasa dengan ranting kering. Bergerak tak tentu arah sembari berkali-kali meneriakkan kata “Tolong”.
Melalui Toean Markoen, Teater Api Indonesia menyampaikan tentang industri kapitalistik, pada hakikatnya hanya sebuah siklus atau lingkaran setan yang berujung kehancuran. Rusaknya alam menandai rusaknya ekosistem lingkungan. Terganggunya habitat makhluk hidup, tercemarnya sungai dan sebagainya. “Dampaknya bagi masyarakat, industri mengubah para individu menjadi budak alat-alat produksi,” terang Wiji Utomo, salah satu aktor.
Pementasan Toean Markoen menggugah kesadaran siapa saja tentang pentingnya merawat lingkungan. Menjaga kelestarian alam. Diadaptasi dari Machinehamlet karya Heiner Muller, pementasan itu berlangsung pada Sabtu, 8 Oktober 2022. Dapat disaksikan pula di kanal YouTube Cak Durasim. (Guruh Dimas Nugraha)