SURABAYA, HARIAN DISWAY - Komposer etnik kontemporer muda, Willyday Namali, memesona di panggung Jatim Art Forum, pada 13 Oktober 2022. Berbagai komposisi musik paduan tradisi dan teknologi digital yang dibuatnya, memunculkan keunikan dan kebaruan.
Sorot cahaya di pendapa Taman Budaya Jawa Timur (TBJT) menerangi seperangkat alat gamelan dan siluet hitam seorang pria dengan ganden di tangan. Seluruh ruang pendapa diselimuti kain hitam. Dari barat, selatan dan timur. Menyisakan sedikit saja pintu masuk untuk pengunjung.
Itulah gambaran penutup Jatim Art Forum yang berlangsung sejak 11 Oktober 2022. Gelaran tahunan Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) itu akhirnya dipungkasi oleh penampilan komposer muda asal Malang, Willyday Namali, yang tampil pada hari ketiga.
Untuk Jatim Art Forum, Willyday Namali tampil berbeda dengan membawakan beberapa komposisi lagu Jawa yang secara teknikal malah dihadirkan dengan unsur musik metal. -ALYARA HANANDA-
Willy –panggilannya- memang berbeda. Para penggagas musik karawitan dengan embel-embel ”kontemporer” sering kali rancu ketika meramu komposisi musikalnya. Memang mereka kerap memadukan gamelan dengan alat-alat musik modern.
Tapi hasilnya, gamelan hanya sekadar menjadi pelengkap. Sedangkan nuansa musik modern tampak lebih dominan. Atau kalimat mudahnya: gamelan hanya jadi tempelan. Jika dalam seni lukis mungkin sebatas jadi aksentuasi.
Willy tak seperti itu. Ia meramu musik gamelan kontemporer, sesekali tak melepaskan atau mengurangi unsur-unsur dasar bunyi khasnya. Tapi di beberapa part dalam aransemennya, ia benar-benar mengubah konstruksi lagu asli. Letak inovasinya terletak pada variasi ketukan maupun variasi nada yang lebih berwarna. Itulah yang menjadi ciri khas musik Willy.
Bahkan bunyi alat gamelan pun telah dipadukan dengan perangkat digital. Sehingga ketika dimainkan, selain bisa memunculkan suara aslinya, bisa pula memunculkan nada-nada ala musik modern.
Lampu panggung mulai fokus ke arahnya. Efek asap membubung. Muncul suara deru yang bersahutan dengan irama bervolume besar-kecil. Suara yang berasal dari perangkat digital.
Tempo musik dimainkan lewat ritme bass drum dipadu dengan bunyi pukulan snare dan hi-hat. Itulah pembuka komposisi Lir Ilir yang jauh berbeda dari irama aslinya.
Bahkan Willy tak memunculkan sedikit pun nada lagu Lir Ilir. Malah terdengar seperti pukulan-pukulan drum khas musik metal atau underground. Seperti yang dimainkan Sepultura, Dragon Force, atau band-band trash metal lainnya.
Gamelan gender di depan Willy, tiap bilah logamnya ketika dipukul, bernada ritmis pula. Namun sebagai ritmis aksen atau rythm section dari ritmis utamanya, pukulan drum dari perangkat digital. Saat itu Willy hanya membunyikan tiga sampai lima nada gender.
Entah apa yang coba dimaknai oleh musisi asal Malang itu. Namun bisa saja ia coba menampilkan kesyahduan Lir Ilir yang tetap bisa dinikmati meski memanfaatkan latar musik metal.
Tiba-tiba nada panjang seperti siulan muncul. Seperti nada yang dihasilkan oleh angin yang masuk ke dalam terowongan resonansi panjang.
Willy memainkan dua nada bergantian dengan kecepatan konstan. Mengakhirinya dengan nada rendah. Seperti telah usai, namun gema nada tinggi muncul secara fade in.
Perlahan-lahan datang. Ia belum selesai dengan Lir Ilir. Bukan dinyanyikan, tapi dibacakan. Seperti rapalan mantra. Setengah bergumam. Melalui nada rendah dengan efek echo yang memberi gema atau pantulan suara.