Setelah upacara, giliran tari kolosal yang unjuk gigi. Sebanyak 230 penari dari 12 sanggar berkolaborasi
membawakan tarian-tarian dari berbagai daerah Nusantara. Mulai tarian Papua, Bali, Sumatera Barat, Kalimantan, Ambon, hingga tari gandrung asal Banyuwangi. Keberagaman juga dihadirkan di kolosal itu.
Dibuka dengan teatrikal perumusan Sumpah Pemuda yang diiringi biola dan lantunan vokal lagu Indonesia Raya.
Di antara para penari, Eri Cahyadi membacakan secarik puisi bernada persatuan. ”Sejarah adalah obat bagi generasi yang sakit. Mengingatnya tak cukup. Maknailah. Lalu bersama bangkit,” ujar Eri saat membacakan puisi itu.
Di balik megahnya keberagaman yang tersaji, ada tangan dingin sutradara Dian Nova Saputra. Ia mampu memadukan tarian dan olahraga bela diri jadi kolaborasi ciamik.
Misalnya, tarian Betawi dengan pencak silat. Hingga tari balet yang dipadukan dengan wushu sebagai lambang etnis Tionghoa.
”Pesan yang kami rangkum di kolosal ini tentu kobaran semangat persatuan di antara keberagaman. Tak hanya tari dan bela diri, kita juga melibatkan gamelan orkestra dari komunitas musik Jarmani,” ucap pria yang akrab disapa Dian Bokir itu. (*)