Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya dibentuk pada 20 Juni 2022. Sejak itu, Irmasanthi Danadharta mengemban tugas penting. Sebagai ketua satgas, dia memandegani terciptanya iklim pendidikan yang kondusif, bebas dari segala bentuk kekerasan seksual.
SUDAH tengah hari. Seharusnya, sang surya bersinar terik di atas kepala. Tetapi hari itu, Senin, 17 Oktober 2022, matahari seperti tersipu, bersembunyi di balik mendung. Dalam suasana itulah Irma, sapaan akrab Irmasanthi Danadharta, bekerja. Perempuan kelahiran Surabaya tersebut menempati salah satu ruangan di Graha Widya, Gedung J, Untag Surabaya. Ruangan yang terletak di sebelah markas Resimen Mahasiswa 816/Untag Surabaya tersebut juga sejuk. Seperti udara Surabaya hari itu. Tetapi, batin Irma tidak pernah sejuk saat membahas kekerasan atau pelecehan seksual. Hatinya selalu menggelegak. Ingin menghapuskan segala bentuk harassment yang masih sering bermunculan. Diakui atau tidak. Perempuan kelahiran 20 Agustus 1987 itu begitu geram pada kebiasaan ’’kecil’’ yang sejatinya berdampak besar. Misalnya, kalimat-kalimat seksis yang bikin risi. Atau stiker-stiker WhatsApp yang sebenarnya mengandung unsur pelecehan. Atau objektivikasi terhadap tubuh. Terutama pada perempuan. Sebagian orang mungkin memandang bahwa stiker itu sekadar lucu-lucuan. Untuk memancing tawa. Walaupun sebenarnya tidak ada kejenakaan di dalam sebuah pelecehan. Itulah, salah satunya, yang diperjuangkan Irma sebagai ketua Satgas PPKS Untag. ’’Kalau ada kesempatan, kenapa enggak?’’ ucapnya. Sejujurnya, Irma mengaku sebagai orang yang tidak suka tampil di depan layar. Tetapi, tugas sebagai Ketua Satgas PPKS Untag memang harus diembannya. Ada perjuangan yang sedang dilaksanakannya. Tentu, perjuangan itu tidak mudah. Karena, kultur toxic tersebut sudah sekian lama ’’ditoleransi.’’ Begitu banyak nuansa pelecehan yang dianggap ’’wajar’’ atas nama kejenakaan.Wawancara Irmasanthi (kanan) dengan Harian Disway di kantor Satgas PPKS Untag Surabaya.-Nadine Churnia Putri-Harian Disway- Ketertarikan Irma pada isu-isu gender tentu tidak muncul secara tiba-tiba. Dia sudah menerima beberapa mata kuliah tentang pemahaman gender sejak masih kuliah di jurusan Hubungan Internasional, FISIP Universitas Airlangga (Unair), yang dirampungkannya pada 2010. Irma meyakini bahwa memang ada perbedaan kodrati antara perempuan dan lelaki. Tetapi, itu hanya meliputi haid, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya, pekerjaan apa pun bisa dilakukan oleh gender apa saja. Saat menempuh gelar sarjana itulah Irma sudah menjadi aktivis. Misalnya saat menjadi volunteer di Bina Antarbudaya Surabaya. Itu adalah salah satu organisasi pertukaran pelajar yang diikutinya bersama mahasiswa Unair lainnya. Di situ, Irma begitu terkesan pada dua seniornya, Caroline dan Yeskiayosi. Minat akan gender dan feminisme didapatkannya sering melihat cara Caroline menepis pandangan remeh tentang perempuan. “Jadi, menurut Anda, saya sebagai perempuan tidak mampu?” kata Irma sambil meletakkan tangannya di dagu. Dia menirukan ucapan Caroline bertahun-tahun silam. Membuat cakrawala Irma terbuka pada gender. Melalui buku, diskusi yang mereka lakukan semakin berwarna. Dari situ Irma mulai menyadari bahwa minatnya adalah pada persoalan gender. Segala hal berbau gender ia gali melalui buku yang kebanyakan berbahasa Inggris. Minat itu semakin mendapat ruangnya ketika Irma melanjutkan S-2. Dia memilih sendiri universitasnya. Juga jurusannya. Pilihannya jatuh pada kajian Human and Gender di Internasional Institute of Social Studies (ISS) Erasmus di Den Haag Belanda. Lulus dari Eropa, Irma tak langsung menjadi dosen. Dia tidak mau bekerja, tetapi juga tidak mau nganggur . Hmmm… Maka, dengan minat pada ranah sosial, Irma menceburkan diri ke jagat aktivis. Ke sebuah lembaga sosial yang sedang fokus berkegiatan di Gang Dolly, sebuah tempat prostitusi yang begitu besar pada zamannya. Irma menangani warga yang terkena HIV/AIDS. Menanggapi apabila ada yang melapor, memberi surat rujukan, menjadwalkan berobat dan lain sebagainya.
Poster kampanye anti kekerasan seksual yang dipajang di depan kantor Satgas PPKS Untag Surabaya.-- Impian lain yang terus digagas oleh Irma adalah soal keluarga. Dia ingin menanamkan pemahaman gender pada anak-anaknya. “Sebetulnya saya cuma pengen anak-anak tidak terkurung normatif gender,’’ ujar Irma. Irma senang. Karena hal itu membuahkan hasil. Goals-nya tercapai. Kedua buah hatinya saat ini berani melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, kenapa aku cewek nggak boleh, dia cowok kok boleh. Kini Irma akan fokus melaksanakan mandatnya sebagai Ketua Satgas PPKS. Meskipun, dia pernah disuruh mundur oleh keluarganya. Padahal, Irma baru dilantik. Keluarga cemas, takut persoalan pekerjaan akan bertambah. Sebab, menjadi satgas PPKS kadang harus berhadapan dengan masalah sensitif privasi seseorang. But there she is . Sekali lagi, menjadi ketua satgas adalah pilihannya. Kecintaan dalam isu gender membuat hati Irma mantab pada posisinya sekarang. “ Toh juga kami dapat jaminan fisik dan psikis dari universitas jika sewaktu-waktu butuh konseling,” ucap Irma. (Chyntia Rasya Aisyah)