Menikmati Kawasan Wisata Dlundung, Trawas

Minggu 13-11-2022,08:00 WIB
Reporter : Guruh Dimas Nugraha
Editor : Retna christa

SURABAYA, Harian Disway - Fajar menyingsing pada Minggu pagi, 30 Oktober 2022. Matahari muncul di tengah perkampungan padat. Rumah-rumah berdinding tinggi membuatku tak bisa memastikan, apakah surya benar-benar terbit dari timur. Eh, bukan. Aku bukan membahas matahari yang muncul di sela tebing-tebing cadas Dlundung. Belum. Aku bercerita tentang perjalanan menuju ke sana.


PENULIS, Suko Kinasih, berpose di salah satu sudut tebing kawasan wisata alam Dlundung.-Julian Romadhon-Harian Disway-

Matahari terbit, jika dilihat di Dlundung, pasti merona, indah, dan menawan. Kalau dilihat dari permukiman Dukuh Kupang Utara, muncul enggak muncul tetap sumpek. Apalagi ketika melihat suamiku yang belum juga bangun. Padahal, kami sekeluarga sudah berjanji mau ke Dlundung bertiga. Camping, mendirikan tenda. Jarum jam menunjuk pukul lima. Ia masih menganga.

Anakku menjambak rambut panjang papanya. Ia bangun lalu tergopoh-gopoh mandi dan sarapan. Aku mengemas perbekalan. Sedangkan suamiku menenteng perangkat kamera dalam tas khusus. Kami berangkat ke Dlundung, tepat pukul enam. Rasanya suamiku mandi tidak mandi sama saja.

Dari Surabaya ke Dlundung yang terletak di Dusun Ketapanrame, Trawas, Mojokerto, jaraknya sekitar 38 km. Lama perjalanan sekitar satu setengah jam. Lokasinya mudah diakses. Ketika masuk areal Pandaan menuju Tretes, lurus saja ke selatan. Hingga sampai pada pertigaan depan pos polisi. Lalu belok kanan. Terus ke arah barat, ikuti jalan saja. Jika bingung, ikuti apa kata Google Maps.

Pintu masuk wisata Dlundung berupa sebuah pos. Di bagian belakangnya terdapat lahan parkir yang luas. Tiket masuknya Rp 15 ribu per orang. Setelah memarkir kendaraan, kami berjalan menuju lokasi bumi perkemahan. Jalan sedikit menurun. Melewati jembatan kayu, di bagian bawahnya adalah sungai berbatu dengan air yang jernih.


PARA PENGUNJUNG kawasan wisata alam Dlundung bersantai di sepanjang tepi sungai. -Julian Romadhon-Harian Disway-

Beberapa ibu-ibu terlihat sedang mencuci piring dan gelas. Mereka pasti orang-orang yang kemping. Sisa piring-piring kotor dan sebagainya dicuci di sungai tersebut. Suamiku memotret mereka. Kemudian menghitung dengan telunjuknya. ’’Satu, dua, tiga... Oh, pas, jumlahnya ada tujuh perempuan,’’ ujarnya.

Ia mengambil selempang etnik dari balik tasnya, kemudian berjoget. Lalu bergerak seakan hendak turun ke bawah. ’’Ngapain sih, Pa?’’ Aku bertanya. Ia tertawa. ’’Ini aku lagi membayangkan jadi Joko Tarub, Ma. Kebetulan di bawah ada perempuan jumlahnya tujuh orang,’’ jawabnya. Aku protes. Tapi ia tetap menari. Anakku tertawa. Papanya memang agak aneh.

Aku menarik tangan anakku. Terus berjalan menuju kawasan bumi perkemahan. Suamiku mengikuti dari belakang sambil tetap berjoget. "Nawang Wulan, tunggu! Nawang Wulan, istriku, jangan tinggalkan aku!" Suamiku berseru-seru. Anakku tertawa makin keras. Aku pura-pura tidak kenal.


PEREMPUAN dan anak-anak asyik bermain di kali. Karena sungainya dangkal dan arusnya tidak deras, kawasan ini sangat ramah buat keluarga. -Julian Romadhon-Harian Disway-

Jalanan terus menurun hingga terdapat tanah lapang. Di situ telah berdiri beberapa tenda. Orang-orang beraktivitas di sekitar tenda tersebut. Suamiku memilih posisi yang sedikit lebih tinggi. Di tengah pepohonan pinus yang menjulang.

Tenda kami berwarna orange. Meski tubuhnya kurus kering, suamiku mampu menegakkan tenda itu seorang diri. Ia adalah laki-laki yang kuat dan mampu menjadi kepala keluarga yang baik. Kharismanya itu yang menawan hatiku. Usai mendirikan tenda, anakku langsung rebahan di dalam dan dengan cepat tertidur. Berhubung putri kami sudah tidur, kami pun duduk bersebelahan. Seperti saat-saat kami pacaran dulu. Kepalaku kuletakkan di pundaknya.

Ia berbisik, ’’Mama’’. Lalu menampakkan senyumnya. Aku mengangguk, menatapnya. ’’Ada apa, Papa sayang?’’ Ia sedikit terdiam, memandang kejauhan, kemudian kembali menatapku. ’’Besok Papa minta tambahan uang saku, ya. Buat beli onderdil Vespa.’’

Aku tersenyum, tertawa. Mengusap punggungnya. Kudekatkan bibirku ke telinganya. Agar suaraku terdengar jelas. ’’Enggak. Enggak, Pa. Kamu pakai sepeda motor biasanya saja.’’ Ia cemberut. Aku tertawa lepas. Kemudian ia masuk ke dalam tenda, menemani anakku yang sedang tidur pulas. Ah, senangnya, melihat suami dan anak sama-sama tidur dengan raut muka bahagia.

Saat jarum jam menunjuk pukul empat sore, suamiku terbangun. Lalu mengajak kami pulang. ’’Lho, kok pulang, Pa?’’ Aku memprotes. Aku mengira kami menginap semalam di sini.

’’Janjinya kita gimana, sih? Pergi ke Dlundung, camping. Kan sudah camping, nih. Mendirikan tenda, tidur di tenda. Aku enggak ngomong bermalam, lho,’’ kilahnya. Ya, benar juga sih. Anakku ikut cemberut. ’’Kok pulang, sih, Pa?’’ Dia bertanya. Suami bilang, besok ia harus bekerja. Si kecil merengek. Meminta papanya libur sehari lagi.

’’Besok Papa kerja, pokoknya. Soalnya mamamu enggak mau kasih papa uang buat beli onderdil Vespa!’’

Ah, terserah dia saja lah. Sore itu kami benar-benar pulang. Minggu depan saya harus menuliskan kalimat detail jika ada janji untuk bepergian lagi. Supaya ia tidak seenaknya sendiri. (*)

Kategori :