BERITA buruk untuk kita semua yang hendak perang melawan perubahan iklim. Pembakaran batu bara, minyak dan gas alam tiap negara di seluruh dunia menghasilkan lebih banyak emisi gas karbondioksida di tahun 2022. Para ilmuwan pelacak emisi berkata bahwa kenaikannya sebesar 1 persen. Terlihat tak banyak, namun berbahaya jika terus dibiarkan.
Berdasar sebuah studi yang dilakukan oleh para ilmuwan di Global Carbon Project, polusi karbon di Amerika naik 1,5 persen lebih tinggi dari tahun lalu. Sementara Tiongkok malah turun, 0,9 persen lebih rendah. Di tahun-tahun sebelumnya tidak begitu, Tiongkok yang terus naik sedangkan Amerika turun. Terbalik. Kepala pemimpin penulis studi, Pierre Friedlingstein dari University of Exeter sempat berspekulasi tentang terbaliknya kebiasaan kedua negara itu. Friedlingstein bilang, bisa saja hal itu terjadi, mengingat Amerika juga terus membantu negara sekutunya Ukraina untuk melawan Rusia. Hal itu memicu produksi yang lebih besar dibanding sebelumnya. Sedangkan di Tiongkok sedang ada penguncian Covid-19. Jumlah kendaraan yang lalu lalang pun turun. Selain dari pembakaran produksi pabrik, gas karbon terbanyak juga dihasilkan dari kendaraan mesin. Karena itu, wajar jika ada penurunan gas karbon tahun ini. Peningkatan emisi karbon 15 tahun lalu bahkan lebih ngawur lagi naiknya. Sekarang sih tidak ada apa-apanya. Tapi tetap saja, ini fenomena yang buruk. Peningkatan gas karbon ini mencakup seluruh dunia secara garis besar, tak menutup kemungkinan bumi akan lebih panas dari sebelumnya. Lebih panas dari yang pernah dirasakan manusia jika kenaikan ini terus dipertahankan. Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah panas di bumi akan melewati batas sebanyak 1,5 derajat celsius. Sebelumnya masih cenderung stabil sejak zaman revolusi industri. “Dengan kenaikan emisi yang tinggi ini, kita sebagai manusia haruslah bersiap-siap. Manusia akan merasakan panasnya bumi. Bahkan lebih panas dari yang pernah dirasakan manusia,” kata ilmuwan iklim Universitas Princeton, Michael Oppenheimer. Tim Friedlingstein menemukan hasil lainnya dari studi mereka. Bahwa bumi kini hanya mampu menerima sekitar 380 miliar ton gas karbondioksida ke udara sebelum mencapai titik batas 1,5 derajat. Berton-ton gas itu kalau dihitung bisa selama 9 sampai 10 tahun emisi, berarti bumi akan melampaui batas 1,5 derajat pada 2031 atau 2032. “Ini adalah berita yang sangat buruk. Waktu untuk mencapai titik 1,5 derajat hampir habis. Sulit untuk melihat keajaiban bisa terjadi di era dunia yang semakin berkembang ini. Kita harus mengurangi emisi dari sekarang untuk menjaga pemanasan global seminimal mungkin,” ucap ilmuwan iklim Universitas Brown, Kim Cobb. Menurut perhitungan dari studi pada 2022, bumi menghasilkan gas karbondioksida yang relatif besar. Sekitar 36,6 miliar ton. Kebanyakan gas itu dihasilkan dari seringnya penggunaan energi dan semen. Berat gas yang dihasilkan itu setara dengan Piramida Agung Giza yang akan terus megnambang di udara setiap 75 menit. Selain Amerika yang mengalami kenaikan emisi tahun ini, India juga mengalami hal serupa. India bahkan lebih besar lagi naiknya, sekitar 6 persen. Eropa mengalami penurunan sebanyak 0,8 persen. Masih belum negara yang lain, jika semua di total dan dihitung rata-ratanya, kenaikan emisi karbon melonjak hingga 1,7 persen. Penyebab melonjaknya emisi gas karbondioksida bermacam-macam. Akar permasalahannya juga turut naik turun hasil polusinya. Polusi batu bara naik 1 persen dari tahun lalu, minyak naik 2 persen, dan gas alam turun 0,2 persen. Pembakaran batu bara menyumbang 40 persen emisi gas karbondioksida di udara, minyak bumi 33 persen, sedangkan 22 persen berasal dari gas alam.LANGIT MEMUTIH di atas New Delhi karena polusi udara. Negara itu termasuk penyumbang polisi tertinggi di dunia.-SHAMMI MEHRA-AFP- Tim penelitian Friedlingtstein yang menguraikan itu semua. Mereka mendapat data dari negara-negara penghasil gas karbon teratas, seperti Amerika, Tiongkok, India, dan Eropa. “Sebenarnya pada 2020 emisi karbondioksida sempat turun 5,3 persen. Kemudian tahun lalu naik lagi sebanyak 5,6 persen. Kenaikan yang paling besar ada di Tiongkok,” kata Friedlingstein. Menurunnya sumbangan Tiongkok dalam emisi karbon tahun ini memang patut diapresiasi. Tapi hal itu lantaran adanya pembatasan Covid-19 yang mereka lakukan belakangan ini. Tak menutup kemungkinan Tiongkok akan kembali pada kebiasaan lamanya untuk menyumbang besar emisi karbon di bumi pada tahun-tahun berikutnya. Efek penggunaan lahan produksi juga berpengaruh besar pada gas karbon yang dihasilkan. Jika pemanfaatan lahan produksi dapat dilakukan dengan benar, maka gas karbon dapat ditekan seminimal mungkin. (Mochammad Rafly Akbar)