PADAHAL bus sudah lebih setengah jam masuk gerbang pusat karantina. Tapi kami belum diturunkan juga. Sopirnya malah mematikan mesin. AC-nya ikutan mati. Pengap. Orang-orang Tiongkok misuh-misuh. Kata-kata umpatan bersahut-sahutan.
Orang Tiongkok yang duduk di depan saya maju.
"Woi, hidupkan AC-nya! Kau mau kami mati di sini?!" teriaknya kepada sopir bus.
Sopir bus langsung menghidupkan mesin sekaligus AC-nya. Tanpa berkata apa-apa.
Giliran yang kerja di Morowali beranjak dari kursi. Memaki-maki orang yang sama.
"Kau mau kami menunggu berapa lama lagi, Bangsat?!" sergah pekerja instalasi listrik itu.
Sopir bus tetap tak menggubris. Mungkin karena paham mental kami seperti negara yang sedang tidak baik-baik saja setelah hampir 12 jam terkatung-katung di perjalanan.
Ditambah lagi, kami belum makan. Di pesawat tidak disediakan makanan berat. Kami cuma diberi camilan dan satu botol kecil air mineral. Mungkin supaya tidak terlalu lama buka masker.
Tapi, masak iya mereka tak percaya bahwa perut yang kelamaan lapar akan gampang memancing orang berbuat onar?
Bukankah revolusi penumbangan dinasti yang satu oleh dinasti yang lain, lalu penumbangan kedinastian oleh Partai Nasionalis (Kuomintang), kemudian penumbangan rezim Kuomintang oleh kader-kader Partai Komunis (Kungchantang), digerakkan oleh mereka yang lapar perutnya?
BACA JUGA:Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (4): Toilet Lelah
Maka jangan heran kalau begitu dibolehkan keluar dari bus, yang dilakukan pertama kali oleh kami adalah mencari apa yang bisa dimakan.
Mungkin kecuali Pak Amal, yang bisik-bisik nanya di mana ada korek untuk menyulut rokoknya barang sebatang. Bagi perokok, mubah seharian tak makan, tapi haram seharian tak sebats.
Uereka! Pak Amal kelihatan satu orang yang melipir ke pojokan untuk merokok. Saya coba samperi. Benaran ngebul.
Heran, dari mana ia mendapatkan korek?