Tidak mungkin beli. Karena tidak ada yang jualan di sekitar sini. Ini daerah yang sama sekali terpisah dari keramaian. Apalagi sudah tengah malam begini.
Dari petugas karantina? Lebih hil yang mustahal lagi.
Jangan-jangan koreknya diselipkan di lepitan-lepitan terdalamnya, seperti selilit menyebalkan yang terselip di sela-sela gigi, sehingga sulit terdeteksi oleh x-ray dan metal detector bandara?
Tak mau lama-lama memikirkan yang tak perlu, saya bergegas meminjam koreknya. Pak Amal langsung ke belakang menyalakan rokoknya.
Belum beberapa isapan, tiba-tiba ada petugas karantina yang teriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah orang di pojok sana, "Woi, jangan makan! Jangan makan!"
Saya kaget. Pak Amal buru-buru mematikan rokoknya.
Kami masuk antrean lagi. Pria yang makan tadi juga kembali mengantre. "Gila! Makan aja dilarang!" gerutunya. "Gak akan ada yang bisa lolos," sambung seseorang di belakangnya. Kami serempak tertawa –menertawakan serentetan kegetiran hidup yang dimulai sejak turun dari pesawat tadi.
Gedung yang dipakai untuk karantina orang yang masuk ke Tiongkok. -Novi Basuki-Harian Disway-
"Mas, di kardus yang dibawa Mas Rois itu ada rendang sama kimci. Istri saya yang bikin. Kita bagi-bagi di sini saja. Takut nanti begitu masuk gak bisa," usul Pak Yusuf.
Kami keluar barisan lagi. Cepat-cepat membagikan rendang dan kimci buatan istri Pak Yusuf itu.
"Rendang dan kimci ini yang akan menyelamatkan kita selama beberapa hari ke depan," sambung Pak Yusuf.
"Suzhi suzhi! Nandao ni men zai guo wai zhu de jiu jiu meiyou suzhi le?!" Petugas karantina itu teriak-teriak lagi. Meneriakkan kalimat nyelekit, "Adab, adab! Masak kalian lama tinggal di luar negeri langsung tidak punya adab?!"
Entah pasemon itu ditujukan kepada siapa. Tapi sepertinya kepada kami. Yang berkerumun untuk bagi-bagi rendang dan kimci. Yang kardus dan plastiknya kami tinggalkan begitu saja di halaman depan pintu masuk gedung karantina.
Saya punya pengalaman serupa. Waktu dulu tinggal di Guangxi. Karena malas mau turun dari lantai 6 yang tidak ada lift-nya, sampah yang sudah saya bungkus plastik, saya lemparkan langsung dari ketinggian. Saya arahkan ke tempat sampah besar di lantai satu.
Mata kiri saya picingkan, coba mengeker. Saya kira sudah akan jatuh tepat di mulut tempat sampah yang menganga. Eh, malah mengenai pinggir mulutnya dan terpental ke tanah. Gedebuk.
Pagi keesokannya, begitu sampai kantor, dosen yang ditugaskan mendampingi saya mengajukan pertanyaan aneh, "Di kamar Anda apa sudah dilengkapi tempat sampah? Kalau belum, nanti kami sediakan." Saya jawab sudah dan tidak perlu ditambah, tanpa mengetahui apa maksudnya.
Mirip dengan kebudayaan Jawa, orang Tiongkok juga punya kebiasaan berbicara tidak to the point. Kita diminta menebak-nebak sendiri maksudnya.