Catatan Perjalanan ke Tiongkok saat Pandemi (10): Demi Ikan Sejuta Umat

Kamis 24-11-2022,06:12 WIB
Reporter : Novi Basuki
Editor : Tomy C. Gutomo

Belum lagi ditambah dengan banyaknya awak yang harus dipekerjakan. Membuat ongkos logistik makin membengkak. 

“Untuk kapal yang ukurannya 150-an GT saja, perlu membawa sekitar 45 orang,” tambah Pak Rois.  

Dengan ABK sebanyak itu, ditambah dengan cuaca yang tidak menentu, “satu malam bisa-bisa hanya mendapat ikan 300 kg,” keluh Pak Rois. 

Nelayan Indonesia memang sangat bergantung kepada cuaca. Padahal, kalau mengikuti keyakinan Tiongkok, “人定胜天” (rén dìng shèng tiān): manusia pasti bisa menaklukkan alam.

Masalahnya, bagaimana bisa menundukkan alam kalau nelayan kita masih mengandalkan kapal-kapal dan alat tangkap tradisional?

Jelas perbedaannya bagai langit dan dasar laut jika dibanding dengan nelayan Tiongkok. Mereka lawan kehendak alam dengan teknologi. 

Untuk membuktikannya, kami dibawa ke desa pesisir bernama Shatou (沙頭) oleh salah satu pengusaha kapal ikan di Taizhou. Di sana, kami dipamerkan kapal-kapal penangkapan ikannya yang berjejeran. Ukurannya beragam. Pun jenis alat tangkapnya. 

Lalu, kami dipersilakan naik ke satu kapal pukat labuhnya. Yang teknologinya sebenarnya tidak canggih-canggih amat. Tapi kemampuannya benar-benar pilih tanding. 


Yusuf Ramli, pemilik perusahaan perikanan Komira Group juga berfoto di kapal pengangkut ikan-Foto: Novi Basuki-Harian Disway-

Betapa tidak? Dalam semalam, mereka mampu menangkap 5 hingga 6 kali ikan. Hasil tangkapannya bisa mencapai 50 ton. Alias 10 kali lipatnya hasil tangkap nelayan Indonesia.

ABK-nya pun tidak perlu banyak. Kapal ikan yang ukurannya 300-an GT, cuma butuh mempekerjakan 10-12 orang. Tenaganya pun hanya dipakai untuk memilah dan memilih ikan yang sudah diangkat oleh mesin ke kapal. Bukan untuk menarik pukat berisi berton-ton ikan seperti halnya di kapal ikan nelayan kita.

Dengan hasil tangkap yang demikian besar dan biaya logistik yang demikian kecil, tidak sulit diterima akal jika HPP “ikan sejuta umat” di Tiongkok bisa ditekan sampai Rp 500 per kilo.

Makanya, kami hanya bisa takjub menyimak penjelasan pemilik kapal penangkap ikan di Taizhou itu. Kami pun tidak sakit hati saat ia dan anak buahnya geleng-geleng kepala seraya berucap, “Ni men tai luohou le” (kalian terlalu terbelakang), setelah mendengar penjelasan kami mengenai kondisi kapal-kapal penangkap ikan di Indonesia –yang faktanya memang sangat perlu segera di-upgrade teknologinya.

Lantas, jika ada warga Indonesia yang hendak mendatangkan kapal-kapal penangkap ikan seperti yang dimiliki nelayan Tiongkok itu, apakah pemerintah akan menerima? Bagaimana dengan kuota penangkapannya? Bagaimana juga dengan ukurannya? Bagaimana juga perizinannya? Apakah juga ada yang bisa menjamin kepastian regulasinya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menggelayut di benak kami yang masih cemas akan hasil swab untuk pulang ke Indonesia besok pagi.

Sementara di Juwana, kata Pak Rois, mayoritas nelayan menurun pendapatannya. Dan kita, tetap makan ikan yang mahal HPP-nya. (*/Bersambung)

Kategori :