Pemilu di Taiwan dan Indonesia sama saja. Di tengah pesta demokrasi itu, terjadi perang di jaga maya: Internet. Untungnya, Taiwan punya kementerian baru, Ministry of Digital Affairs (MoDA) (數位發展部). Baru terbentuk 27 Agustus 2022.
— SAYANG sekali, kunjungan kami berakhir 19 November 2022. Kami sudah dipesankan pesawat pulang. Banyak jurnalis yang ingin tahu proses pilkada Taiwan yang digelar sepekan setelah kepulangan kami: 26 November 2022. Suasana kampanye tak terasa di pusat Kota Taipei, tempat kami menginap selama sepekan. Baliho dan spanduk tak tampak di sana. Sepertinya pusat kota harus steril. Kami baru melihat atribut kampanye banyak bertebaran di pinggiran kota. Dan lebih banyak lagi di luar Taipei. Beberapa kali kami melihat mobil reklame keliling dengan wajah para politikus yang tersenyum. Lengkap dengan nomor urut mereka.Deretan baliho politisi Taiwan di perbatasan Taipei.-Salman Muhiddin/Harian Disway- Ada pula yang diikat di tiang listrik. Saya jadi teringat Surabaya. Bedanya, spanduk dan baliho itu tak sebanyak di Surabaya atau kota lain di Indonesia. Misalnya, di Layang Mayangkara, Surabaya. Kalau sudah musim kampanye, jalan layang yang tak sampai 1 kilometer itu bisa diisi ratusan bendera partai. Kami juga tak menemukan ada baliho atau spanduk yang dipaku atau diikat di pohon. Di Taiwan lebih tertib. Yang di tiang listrik juga tidak banyak. Bisa dihitung jari dan diikat dengan kawat. Rapi. Selama satu pekan, rombongan juga tak melihat ada konvoi partai. Atau pendukung calon wali kota. Saya kira ada hari tenang seperti di Indonesia. Kampanye dilarang jelang coblosan. Ternyata tidak juga. Sehari sebelum kami pulang, rombongan dikagetkan dengan suara pengeras suara di Kabupaten Yilan. Saat itu kami sedang makan siang.
Mobil terakhir di rombongan pawai kampanye pemilu Taiwan yang sempat terfoto.-Salman Muhiddin/Harian Disway- Saya kira ada demonstrasi. Rupanya ada pawai dari salah satu partai. Mereka naik mobil pribadi dan berbaris dengan melaju pelan. Penumpangnya mengibarkan bendera dengan jendela terbuka. Sayang sekali, saya tak sempat memotretnya. Ketika saya keluar gedung, mobil terakhir sudah melintas. Tidak ada yang naik pikap atau sepeda motor seperti pawai di Indonesia. Kami sempat mendiskusikan soal demokrasi dan pemilu itu tiga hari sebelumnya. Delegasi media ditemui wakil menteri Kementerian Urusan Digital alias MoDA (Ministry of Digital Affair). Kementerian itu baru terbentuk 27 Agustus 2022. Seperti kalimat pembuka, ada kesamaan di pemilu Taiwan dan Indonesia. Muncul kekhawatiran tentang penyebaran hoaks dan propaganda di internet. Tentu perang di internet Taiwan lebih kencang. Mereka juga melawan informasi yang dianggap sebagai propaganda Tiongkok agar mereka bergabung dengan main land China . Dan perang di jagat maya itu makin kencang jelang pemilu. Iklim demokrasi di era internet memang ”mengerikan”. Disinformasi bisa menyebar seperti virus dalam hitungan detik. Berita palsu menyebar seperti api yang membakar rumput kering. Dan tentu kebohongan sering kali lebih menarik dan bombastis daripada kebenaran. Apalagi disertai dengan click bait . Pemilih yang memiliki literasi digital dan terinformasi dengan baik adalah landasan utama demokrasi. MoDa yang baru beroperasi selama tiga bulan juga menangani informasi palsu yang ditemukan di platform digital. ”Namun, kami percaya bahwa bukan pemerintah yang seharusnya mendikte apakah suatu informasi itu benar atau tidak,” ujar Wakil MoDA Ning Yeh.
Wakil Menteri Urusan Digital Taiwan Ning Yeh menjelaskan kementerian barunya yang terbentuk 27 Agustus 2022.-Salman Muhiddin/Harian Disway- Katanya, peran pemerintah adalah menyediakan alat yang diperlukan publik untuk menangkis disinformasi. ”Namun, perang melawan berita palsu bergantung pada upaya semua orang,” lanjut Ning Yeh. Pemerintah Taiwan tidak bisa menghadapi gempuran perang siber sendirian. Mereka bergerak taktis apabila ada informasi salah yang sangat berbahaya dan disengaja. MoDA ingin publik tahu bahwa tidak semua yang ada di internet itu benar. MoDA hadir untuk membantu mengembangkan mekanisme yang masyarakat dapat memeriksa fakta informasi dengan sangat cepat dan mandiri. Beberapa organisasi melawan hoaks bermunculan. Salah satunya Taiwan FactCheck Center. Situs itu didirikan pada April 2018. Itu sama dengan langkah Kementerian Komunikasi dan Informatika RI saat membuka kanal aduankonten@mail.kominfo.go.id pada 2016. Peneliti Doublethink Lab dan Georgetown University Amerika Serikat Ben Sando menulis di cfr.org sebulan sebelum coblosan Pilkada Taiwan. Menurutnya, pilkada itu secara bertahap menjadi tempat uji coba Tiongkok untuk teknik mengganggu proses demokrasi melalui disinformasi internet. Menurut Sando, serangan siber itu tak hanya terjadi saat pilpres. Aktivis masyarakat sipil Taiwan yang juga berasal dari Doublethink Lab (LSM pertahanan digital), mengidentifikasi bahwa pemilihan lokal di Pulau Formosa itu sebagai target yang jauh lebih signifikan untuk serangan disinformasi Tiongkok. Sando menulis bahwa isu lokal jadi ruang besar untuk menyebarkan rumor dan teori konspirasi. Masyarakat lebih gampang diserang disinformasi saat pilkada ketimbang pilpres. Entah teori konspirasi itu berhasil atau tidak. Yang jelas, hasil pilkada 26 November lalu mengejutkan banyak pihak. Partai penguasa Democratic Progressive Party (DPP) kalah telak dalam pilkada dari Partai Kuomintang yang dianggap pro-Tiongkok. Dari 21 kota dan kabupaten, DPP cuma dapat lima kepala daerah. Sedangkan rivalnya, Partai Kuomintang, dapat 13. Presiden Taiwan Tsai Ing-wen juga mengundurkan diri dari DPP setelah tahu partainya kalah di pilkada. Apakah Taiwan bakal bergabung dengan Tiongkok? Kata Abah Dahlan Iskan di tulisan kemarin: tidak otomatis begitu. Partai Kuomintang memang pro-Tiongkok. Tapi, juga bukan anteknya. (Salman Muhiddin)
Ramah untuk Pesepeda . BACA BESOK