Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: Terjebak Sistem Sewa Sejak 1971 (4)

Kamis 15-12-2022,21:25 WIB
Reporter : Salman Muhiddin
Editor : Salman Muhiddin

Nasionalisasi tanah yang didasari UU Nomor 1 Tahun 1958 dan diperkuat dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA), realisasinya ternyata menyimpang. Pada tahun 1970-an pemkot mulai menggencarkan program pemutihan tanah.



Warga manut saja saat diminta pemkot mengikuti program yang kedengarannya menguntungkan itu. Dalam bayangan mereka, tanah yang ditempati bisa jadi hak milik dan disertifikatkan ke BPN. Status tanah mereka akan terangkat. 

Maka ekspresi kegembiraan itu dilakukan dengan mengadakan syukuran. Menurut informasi dari aparat pemkot, tanah mereka harus diurus lebih dahulu melalui kota madya, kemudian naik menjadi hak guna bangunan (HGB), lalu disertifikatkan.

Alhasil, warga tak mengurus langsung tanahnya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tahu-tahu mereka dapat surat ijo dan diminta bayar sewa. “Bagi yang tidak mengerti hukum, tenang-tenang saja. Sedangkan bapak mertua saya tahu. Dia bingung dapat surat ijo itu,” ujar Mulyadi J. Amalik saat ditemui di kediamannya yang tak jauh dari Makam Belanda Peneleh itu.

Rumah yang berada di Jalan RMH Soejono itu dibeli. Tidak gratis. Begitu pula dengan para tetangganya. Maka, mereka memasang spanduk penolakan di sepanjang pagar rumah mereka.

Warga menyadari bahwa program pemutihan tersebut adalah jebakan.  Banyak yang tidak sadar menandatangani pernyataan bahwa tanah mereka adalah milik Pemkot Surabaya dan tidak akan keberatan apabila Pemkot menjadikan tanah warga sebagai hak pengelolaan lahan (HPL) ke pemerintah pusat. 

Pada 6 Mei 1971 munculah Keputusan DPRD GR Surabaya NO. 03E-GR/KEP/1971 tentang sewa tanah. Sejak saat itulah sistem tuan tanah peninggalan zaman Belanda dilegalkan lagi. 

Warga harus membayar sewa bulanan ke kotamadya. Terhitung mundur sejak 1966. Mereka langsung dihitung menunggak selama limat tahun. 

Untuk memuluskan praktik sewa tersebut, pemkot mengerahkan aparatnya untuk turun ke kampung-kampung. Warga diminta mengumpulkan bukti asli berupa petok D, letter C, bukti jual beli, dan surat tanah lainnya. “Jadi,semuanya diminta,” ujar anggota Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS) itu.

Pejuang surat ijo curiga bahwa penarikan dokumen milik warga dilakukan untuk menghilangkan bukti administratif dan kepemilikan tanah warga. Pada zaman orde baru warga manut saja. Tak berani melawan. (Salman Muhiddin)

Ada Layang Ijo Sebelum Surat Ijo, BACA BESOK!

Kategori :