Kasus Gunadarma, kok Disoal Lagi

Senin 19-12-2022,04:30 WIB
Oleh: Djono W. Oesman

Tiga korban melapor ke Polres Depok, Senin, 12 Desember 2022. Isi laporan, mereka dilecehkan secara seksual oleh dua mahasiswa. Laporan diterima pihak Polres Depok.

Tak diduga oleh para korban, ternyata pada Senin, 12 Desember 2022, dua pelaku ”diadili” teman-teman sekampus mereka. Di kampus. Sebab, detail kejadian sudah sepuluh hari viral di medsos. Tanpa penyelesaian.

Dua pelaku diikat di pohon di dalam kampus. Ditelanjangi ramai-ramai. Dicekoki air kuning yang katanya air kencing. Ada yang menendang kena badan pelaku. 

Barulah saat itu heboh. Persekusi tersebut direkam video, diunggah ke medsos, viral. Dua pelaku diamankan petugas sekuriti kampus supaya tidak dihakimi massa. Lantas, diserahkan ke Polres Depok. Menginap semalam di sana.

Esoknya, Selasa, 13 Desember 2022, tiga korban kompak mencabut laporan. Mungkin mereka ngeri. Sudah ada hukum rimba. Para pelaku sudah ditelanjangi ramai-ramai. Tapi, alasan para korban mencabut laporan, kompak sama: ”Karena kejadiannya sudah lama. Malu.”

Pencabutan laporan dilanjutka dengan perdamaian para pihak. Sebab, berdasar KUHP Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 tentang perbuatan cabul, itu adalah delik aduan. Yakni, hanya diproses polisi jika ada pengaduan pihak korban. Atau, kalau ada pengaduan, lalu dicabut lagi, perkara pun ditutup polisi.

Maka, Polres Depok menerapkan restorative justice. Perkara ditutup. Selesai.

Jangan salah. Kegalauan pihak Kementerian PPPA dan Komisi III DPR realistis. Logis. Kekhawatiran mereka, bahwa tindak main hakim sendiri bakal dicontoh pelaku lain, merujuk ”Kasus Gunadarma”.

Tak perlu lama. Langsung. Lha wong arek Indonesia kok pakai contoh.

Sabtu, 17 Desember 2022, Herdi Arliyanto, 43, warga Perumahan Vila Podo Rukun, Desa Sumbersekar, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jatim, kepada pers mengatakan bahwa anak lakinya, inisial MFA, 16, santri Ponpes An-Nur 1, Bululawang, Malang, babar-bunyek korban main hakim sendiri di ponpes tersebut.

”Anak saya dikeroyok sekitar 30 santri, kakak kelasnya. Dipukuli, diinjak-injak. Lalu, ia pulang. Di rumah pusing, muntah-muntah. Sekujur badannya berdarah. Kepalanya sobek. Saya bawa ke rumah sakit, lukanya dijahit tujuh.”

Ceritanya, Kamis malam, 15 Desember 2022, MFA tidur di masjid di dalam ponpes. Mendadak dibangunkan beberapa temannya. Dibawa masuk ke ruangan. Di ruangan itu sudah banyak temannya. Katanya, sekitar 30 remaja, sesama santri.

”Anak saya dituduh mencuri uang milik dua santri di lemari. Satunya Rp 50 ribu. Satunya Rp 100 ribu. Langsung, anak saya dihajar di situ. Jumat (16/12) pagi ia pulang.”

Apakah MFA mencuri? ”Saya tanya anak saya, katanya ia tidak mencuri. Ia sudah mengatakannya ke teman-teman santri. Tapi, tetap dihajar.”

Sudah dilaporkan Herdi ke Polsek Bululawang. Oleh pihak polsek, dianjurkan ke Polres Malang. ”Di Polres Malang, terus visum di RSUD Kanjuruhan sampai jam 12 malam pada Jumat (16/12),” tuturnya.

Para santri An-Nur 1, terduga pengeroyok MFA, mungkin tidak mencontoh ”Kasus Gunadarma”. Mungkin mereka tidak tahu, di Gunadarma juga persis seperti itu.

Kategori :