Sejarah dan Konflik Surat Ijo Surabaya: 4,2 Juta Meter Persegi Surat Ijo di Tanah Eigendom (10)

Jumat 23-12-2022,08:04 WIB
Reporter : Salman Muhiddin
Editor : Salman Muhiddin

Ada 14 juta meter persegi tanah surat ijo yang dikuasai Pemkot Surabaya. Sebanyak 4,2 juta  meter persegi diantaranya berasal dari bekas tanah eigendom verponding, pen inggalan pemerintah Hindia Belanda.


Dalam buku Kamus Hukum terbitan Indonesia Legal Center Publishing, eigendom berarti hak milik mutlak. Sedangkan, verponding artinya sebagai harta tetap. Tanah hak milik di zaman kolonial itu sampai sekarang masih banyak dikuasai pemkot Surabaya. Yang ditinggali warga jadi objek izin pemakaian tanah (IPT) atau surat ijo.

Usai Indonesia merdeka eigendom masih dipertahankan sebagai pengakuan hak atas tanah. Masyarakat yang punya eigendom diberi kesempatan mensertifikatkan tanahnya di tahun 1960. Saat itu terbit Undang Undang Pokok Agraria (UUPA). Selambat-lambatnya hingga 1980.

Namun karena alasan ketidak tahuan, banyak masyarakat yang tidak mengurus konversi tanah itu. Maka, tanah bekas eigendom rentan disengketakan.

Tanah eigendom biasanya merupakan bidang tanah yang luas. Kebanyakan di atas 1 hektare. Bahkan ada yang luasnya diatas 100 hektare. Kawasan ini kebanyakan berada di kawasan Surabaya lama. Yang batas paling selatannya ada di Wonokromo. 

Di zaman Belanda daerah Wonokromo banyak dibangun permukiman. Sehingga dua per tiga tanah eigendom berada di Wonokromo. Di sana juga ada Kelurahan Ngagel Rejo yang jumlah tanah surat ijonya mencapai 1,271 juta meter persegi. 

Dari mana asal tanah itu? Doktor Sukaryanto menerangkan dalam bukunya: Reforma Agraria Setengah Hati bahwa tanah itu dibeli dari partikelir (swasta) di awal-awal berlakunya pemerintah daerah era belanda ( gemeente ).  Statusnya berganti menjadi eigendom gemeente .

Ada juga warga yang kehilangan bukti kepemilikan surat eigendomnya. Sukaryanto menemukan kasus itu di Peneleh. Ia mewawancarai Indriyani yang menempati tanah surat ijo warisan orang tuanya. 

Keluarganya mengungsi ke luar kota saat pertempuran 10 November meletus pada 1945-1949. Rumah beserta isinya ditinggalkan begitu saja. Yang penting selamat. 

Dokumen kepemilikan tanah tak dibawa karena panik. Setelah pulang, orang tuanya mendapati rumah sudah rusak parah. Mereka lapor ke pemkot. Meminta ganti surat eigendom yang hilang. “Yang keluar malah sewa tanah,” tulis Sukaryanto.

Demikian pula warga lainnya di lingkungan Peneleh. Kerancuan administrasi terjadi di masa orde baru. Lagi-lagi warga tidak berani melawan pemerintah. (Salman Muhiddin)

Separo Aset Surat Ijo Berstatus HPL, BACA BESOK!

Kategori :