DKI Jakarta juga punya persoalan tanah dengan warganya. Mirip masalah surat ijo di Surabaya. Tanah eks desa dan eks kota praja yang dikuasai Pemprov DKI Jakarta sudah dilepas 20 tahun lalu.
Pelepasan tanah eks desa dan kotapraja itu sudah diatur melalui Keputusan Gubernur sejak 2001. Ketentuannya diubah dua kali pada 2015 dan 2016. Sampai sekarang Keputusan Gubernur Nomor 217 tahun 2016 masih jadi pegangan. DKI Jakarta juga dapat pemasukan atas tanah yang ditempati warga. Setiap memperpanjang hak guna bangunan (HGB), atau hak pakai (HP) di atas hak pengelolaan (HPL) warga dikenakan tarif 2,5 persen dikali nilai tanah sesuai NJOP. Sementara tarif perpanjangan gedung usaha dua kali lipat. Namun, yang jadi perhatian pejuang surat ijo bukan nilai HGB dan HP itu. Mereka melihat pemprov DKI Jakarta berani melepas tanah aset daerah dengan harga murah. Warga DKI Jakarta yang menempati tanah eks desa dan eks kota praja bisa membelinya dengan harga 25 persen dari NJOP (nilai jual objek pajak). Jika dibandingkan dengan tanah surat ijo di Surabaya, cara penghitungannya terpaut sangat besar. Pelepasan surat ijo diatur di Perda Nomor 16 Tahun 2014. Yang bisa dibeli hanya dibatasi tanah di bawah 250 meter persegi yang sudah ditempati selama 20 tahun. Peruntukannya hunian. Tidak tercantum persentase tarif pembebasan tanah. Pemkot dan DPRD Surabaya menyerahkan penentuan tarif kepada panitia pelepasan tanah yang dibentuk atas keputusan wali kota. Mereka adalah tim appraisal. Bisa dibentuk dari internal pemkot atau menunjuk tim appraisal independen yang punya sertifikat penilaian aset. Masyarakat harus beli rumah yang mereka tempati dengan harga pasar. Yang nilainya tentu jauh lebih tinggi ketimbang harga NJOP. Semetara di DKI Jakarta warga bisa dapat harga seperempat dari NJOP. Bahkan masyarakat yang tidak mampu, yayasan pengelola tempat peribadatan, veteran, purnawirawan TNI-Polri, pensiunan PNS, janda atau duda veteran, janda atau duda purnawirawan TNI-Polri, serta janda atau duda pensiunan PNS dapat pengurangan separo. Artinya mereka cuma bayar 12,5 persen dari NJOP, sudah dapat rumah. Pejuang Surat Ijo menyampaikan pelitnya pemkot dalam melepas aset surat ijo ke Kakanwil BPN Jatim Jonahar 6 Mei lalu. Selain nilai pelepasan yang tak terjangkau, mereka juga mengadukan nilai retribusi yang semakin tinggi. “Rasanya surat ijo ini mau dikeruk jadi sumber pendapatan andalan,” kata tokoh surat ijo M. Faried. Jonahar juga kaget saat dilapori tunggakan kantor Perkumpulan Penghuni Tanah Surat Ijo Surabaya (P2TESIS) mencapai Rp 5 miliar untuk 20 tahun. Harga meminjam tempat itu setara nilai jual banguan. “Surat ijo jadi konsen kami. Di Pusat juga sudah bergerak,” katanya. (Salman Muhiddin) Kampung Tua Batam Malah Dapat Gratis, BACA BESOK!