Teori itu mengandalkan premis, individu harus mengenali bahaya yang ada di masyarakat. Maka, setiap individu harus mengambil tindakan pencegahan yang diperlukan untuk mempertahankan tingkat keamanan diri sendiri.
Mereka yang tidak mengambil tindakan pencegahan seperti itu dianggap tercela atas kematian mereka. Meskipun sudah bertindak hati-hati.
Frasa ”hati-hati” di sini terkait atau punya hubungan kausalitas dengan frasa ”harus mengenali bahaya yang ada di masyarakat”. Contoh: Jangan dekat-dekat orang mabuk karena bahaya. Meskipun dilakukan dengan hati-hati.
Lerner kelihatan seolah membela pelaku tindak pidana atau menyalahkan korban di bukunya tersebut. Padahal, sebenarnya tidak. Sebab, ada kelanjutan di kalimat berikutnya.
”Persepsi ini pada dasarnya menggeser kesalahan, dari pelaku kejahatan ke korban.”
Makjleb... di kalimat terakhir Lerner.
Para ilmuwan kriminologi-psikologi di AS mengakui bahwa Lerner pelopor teori ”The Belief in a Just World” alias ”Keyakinan pada Dunia yang Adil”.
Sebab, Lerner menyebut kata tersebut jauh sebelum buku di atas diterbitkan. Teori ”Dunia yang Adil” dicetuskan Lerner pada 1965 melalui karya ilmiah psikologi sosial.
Inti ”Dunia yang Adil”, ya itu tadi: Semua orang harus mengenali bahaya di masyarakat. Maka, jangan mendekati bahaya tersebut. Jika teori itu dilanggar, bisa ketimpa sial. Dalam bahasa Lerner: ”.... menggeser kesalahan, dari pelaku kejahatan ke korban.”
Di kasus kecelakaan yang menewaskan Hasya, unsur bahaya itu ada di hujan gerimis dan jalanan becek. Pastinya kondisi jalan licin buat roda motor.
Menyitir teori Lerner, semua pengguna jalan harus paham, bahaya mengintai di jalan licin. Meskipun dilalui dengan hati-hati.
Dalam kasus ini, tinggal dihitung, berapa kecepatan motor Hasya dan mobil Eko? Adakah pengereman dari kedua pihak? Yang ternyata juga sangat sulit dikalkulasi. Pasalnya, di jalanan becek tidak dapat diinvestigasi tingkat pengereman secara akurat, dari serpihan karet ban pada aspal.
Akibatnya, menurut teori Lerner, bisa dengan gampang kesalahan bergeser dari pelaku kepada korban.
Di sisi lain, dalam budaya masyarakat kita berlaku anggapan publik. Pejalan kaki ditabrak sepeda, sepeda yang salah. Pesepeda ditabrak pemotor, motor yang salah. Pemotor ditabrak pemobil, mobil yang salah.
Akibatnya, keputusan Polda Metro Jaya membikin Hasya tersangka adalah mengherankan. Kontradiktif budaya. Apalagi, tanpa saksi mata.
Betapa pun, pernyataan ketua BEM UI, yakni ”.... fenomena Sambo jilid kedua”, kurang relevan. Tidak terkait langsung. Itu cuma persepsi kritis. (*)