Aku dan Ibu: Memaknai Lagu Pilu Membiru Kunto Aji

Jumat 10-02-2023,08:42 WIB
Reporter : Alfian Nur Riski
Editor : Salman Muhiddin

Lirik lagu Pilu Membiru, Kunto Aji berhasil merasuk hatiku (Alfian Nur Risky, Peserta Disway Internship Program Batch III ).  Kata dalam nada itu merangsek masuk melalui telinga yang tak berkatup. Memutar kembali memori bersama manusia luar biasa yang mengasah, mengasuh, mengasih, anak-anak manusia guna bekal hidup di dunia. 

 

Akhirnya aku lihat lagi sederhana tanpa banyak celah wangimu berlalu: Terbayang dalam benak, engkau yang tak mampu lagi kuhirup wangi kasih sayangmu.

 

Akhirnya aku lihat lagi jemarimu yang bergerak bebas seiring tawamu:  T eringat sangat jelas, tatkala engkau mengusap air mataku setelah aku terjatuh. Menyeka linang mataku saat tersedu sedan waktu gagal masuk sekolah favorit, ataupun saat aku menangis karena tak mampu mengerjakan soal matematika. 

 

Tak ada yang seindah matamu hanya rembulan: Tatap yang menenangkan,  dengan sorot penuh kasih sayang. Engkau buatku tentram, tatkala dunia sedang tak ramah.

 


Mahasiswa Ilkom Universitas Trunojoyo Madura Alfian Nur Riski peserta DIP Batch III.-Dok Pribadi-

 

Tak ada yang selembut sikapmu hanya lautan: P erhatianmu yang hangat melekat dalam jiwa. Kesabaranmu tiada tara, kasih sayangmu yang tak terhingga. Sebagaimana kau tidak pernah tega membiarkanku tak bernutrisi dalam kandungmu.

 

Rela terjaga dari kantuk karena tangisku memecah sunyi malam. Gelisah melihatku jatuh saat belajar berjalan. Bimbang harus bersikap tegas atau lembut mengenai tindakan ceroboh, tatkala aku memecahkan piring.

 

Waswas ketika badai dengan petir menggelegar di atas atap, saat anak kesayanganmu tak kunjung pulang. Belum lagi kekhawatiran perihal pergaulan masa remaja ku. Semua itu engkau lewati dengan tabah.

 

Tak tergantikan oh walau kita tak lagi saling menyapa: Segala tentangmu takkan pernah terganti. Berbagai hal itu bersemayam dalam benak dan hati, meski engkau telah kembali ke nirwana Tuhan yang abadi.

 

Akhirnya aku lihat lagi, akhirnya aku temui, oh tercekat lidahku: Rinduku telah lama tertumpuk. Setelah sekian lama engkau pergi, gelombang air mata itu tumpah tak tertahan, tatkala kudapati kau beraktivitas di dapur.

 

Menanak nasi dan mengolah dengan cekatan bahan-bahan masakan demi meredam kemelut perutku.

 

Terbangun dengan kesadaran penuh, ternyata segala hal itu hanya bunga tidurku. Nestapa.

 

Masih banyak yang belum sempat aku katakan padamu: M aaf ibu, semasa bahagia hadirmu aku tak pernah dengan gamblang mengatakan, aku sayang ibu.

 

Tak lebih berani dan sejelas ketika menyatakan hal itu pada manusia lain, yang kuanggap lebih mengerti diriku. Bahkan belakangan ini manusia itu memberi pengkhianatan, meninggalkan sakit hati.

 

Bu, maafkan aku yang selalu merasa risih kala kau menelpon, semata ingin memastikan kabar baik anakmu yang jauh. Mengabaikan pesan singkatmu untuk menjaga kesehatan, membiarkannya menumpuk, lalu membalas jika sempat. Aku rindu itu, sangat.

 

Masih banyak yang belum sempat aku sampaikan padamu: Nasehatmu selalu benar. Aku masih terlalu naif memaknai kehidupan ini sendiri. Enggan mengindahkan apapun katamu, merupakan penyesalan mendalam.

 

Kini, aku berjalan dengan petuahmu yang terpatri dalam benak dan sanubariku. Terimakasih ibu.

Alfian Nur Risky, Surabaya, 10 Februari 2023

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo Madura

Kategori :