SURABAYA, HARIAN DISWAY- KEBEBASAN pers menentukan arah pembangunan bangsa. Sejak era reformasi, dunia pers Indonesia terus mengalami perbaikan. Saat ini kondisinya bisa dibilang cukup bebas dengan indeks kebebasan pers (IKP) mencapai 77,88 poin.
Status itu naik agak drastis sejak 2016–2018. Namun, tren IKP cenderung naik sejak 2016. Kenaikan tertinggi terjadi pada 2019, sebesar 4,71 poin.
Berdasar wilayahnya, Kalimantan Timur memiliki skor IKP tertinggi pada 2022, yakni 83,78 poin. Jambi menyusul dengan skor IKP 83,68 poin. Lalu, Kalimantan Tengah tercatat 83,23 poin.
Pencapaian tersebut tentu menggembirakan. Tetapi, ada PR besar yang harus segera dituntaskan. Presiden Joko Widodo sendiri yang langsung memberikan peringatan.
”Dunia pers saat ini tidak sedang baik-baik saja,” ujarnya saat menghadiri Puncak Peringatan Hari Pers Nasional 2023 di gedung serbaguna Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, Kabupaten Deli Serdang, Kamis, 9 Februari 2023.
Saat ini, kata Jokowi, kebebasan pers memang bukan lagi menjadi masalah utama. Apalagi, didukung dengan adanya media sosial. Siapa saja bisa dengan mudah dan cepat melaporkan peristiwa apa pun.
Kebebasan itulah yang pincang. Sebab, tak diimbangi dengan pemberitaan yang bertanggung jawab. Banjir informasi terjadi setiap hari.
”Termasuk platform-platform asing. Umumnya tidak beredaksi atau dikendalikan oleh AI (kecerdasan buatan),” ucap Jokowi.
Tentu dilengkapi dengan algoritma raksasa digital. Cenderung mementingkan sisi komersial.
Hasilnya, hanya akan mendorong konten-konten recehan yang sensasional. Situasi seperti itulah yang akan mengorbankan kualitas isi dan jurnalisme otentik. Makin lama makin tenggelam.
”Hal semacam ini tidak boleh mendominasi kehidupan masyarakat kita,” imbuh Jokowi. Media-media konvensional pun tak berkutik. Padahal, dikerjakan dengan redaksional yang ketat. Demi menyajikan berita yang berintegritas.
Yang tak kalah mendesak soal keberlanjutan industri media konvensional yang tengah dihadapkan pada tantangan berat. Sekitar 60 persen belanja iklan telah diambil media digital, terutama platform-platform asing.
Padahal, iklan-iklan itulah yang menghidupi setiap media. Artinya, sumber daya keuangan media akan terus berkurang. Meski, sebagian media sudah mengembangkan diri ke media digital. ”Tetapi, dominasi platform asing dalam mengambil belanja iklan ini telah menyulitkan media dalam negeri kita,” jelasnya.
Terakhir, soal kedaulatan dan keamanan data dalam negeri. Bagi Jokowi, data adalah new oil yang harganya tak terhingga. Karena itu, masyarakat harus waspada terhadap pemanfaatan algoritma.
Dengan algoritma, para penguasa data tidak hanya bisa memahami kebiasaan dan perilaku masyarakat. Tetapi, juga punya peluang mengendalikan preferensi masyarakat.