Maka, Clara lapor Polda Metro Jaya untuk tuduhan penggelapan terhadap mantan suami. Sekaligus diperiksa sebagai saksi pembentakan polisi oleh penagih.
Bagaimana status hukum debt collector? Bolehkah menyita barang milik debitur yang menunggak pengembalian utang?
Dikutip dari Alexander Lay, advokat dari Pusat Bantuan Hukum Peradi, dalam artikelnya yang bertajuk Debt Collector Menyita Barang Milik Debitur disebutkan: Debt collector tidak berhak menyita barang. Jika itu dilakukan, berarti melanggar hukum pidana.
Disebutkan, prinsipnya, penyitaan barang-barang milik debitur yang wanprestasi hanya bisa dilakukan atas dasar putusan pengadilan negeri di lokasi sengketa. Tanpa surat putusan pengadilan, penyitaan berarti tindak pidana perampasan dengan paksa barang milik orang lain.
Debt collector dijerat Pasal 362 KUHP. Bunyinya: ”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian, kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Ini aturan hukum (KUHP) zaman Belanda yang saat diundangkan dulu, uang Rp 900 cukup bernilai. Sekarang, parkir motor saja Rp 2 ribu.
Itu pasal perampas. Kalau perampasan barang disertai dengan kekerasan, yang dilanggar adalah Pasal 365 KUHP. Di ayat 1.
Bunyinya: ”Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, terhadap pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan, atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.”
Dalam buku karya Munir Fuady yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum: Pendekatan Kontemporer disebutkan, perampasan barang milik orang lain itu diperinci ada enam item.
1) Adanya tindakan oleh pelaku. 2) Adanya maksud (keinginan) pelaku. 3) Menguasai/memiliki barang pihak lain. 4) Pihak korban adalah pihak yang berwenang menguasai barang tersebut. 5) Adanya hubungan sebab akibat. 6) Tidak dengan persetujuan dari korban.
Maksudnya, menjelaskan perincian Pasal 362 dan Pasal 365 KUHP. Memerinci tindakan pemaksaan merampas barang milik orang lain (bukan milik penagih), baik dengan perampasan biasa maupun dengan ancaman kekerasan.
Semua itu dengan perkecualian, kecuali penagih membawa surat pernyataan pengadilan negeri di wilayah hukum sengketa. Kalau penagih membawa surat pengadilan, boleh menyita. Tapi, eksekutor penyitaan adalah jaksa didampingi polisi.
Jadi, penagih atau debt collector yang ada selama ini cuma jalan pintas di luar aturan hukum. Maksudnya, supaya pihak kreditur cepat dapat ganti barang atas utang yang tertunggak.
Dalam kasus Clara Shinta, tampaknya tidak ada masalah. Sebab, dia secara ekonomis mampu membayar utang gadai meski bukan dia yang berutang. Nah, bagaimana dengan pengutang yang tidak mampu membayar?
Dalam buku di atas disebutkan, pengutang yang tidak mampu membayar dilakukan re-schedule atau dalam bahasa Surabaya: semoyo. Berjanji akan melunasi utang di kemudian hari.
Kalau sampai batas waktu yang ditentukan pengutang belum mampu melunasi juga, semoyo lagi. Sampai kapan? Tidak disebutkan batas waktu secara hukum. Dan, utang piutang masuk wilayah hukum perdata, bukan pidana. (*)