Dwi Setyawan Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multidisiplin Universitas Airlangga.-istimewa-
Bagong Suyanto, Dekan FISIP Universitas Airlangga. -Istimewa-
RUANG Garuda Mukti Lantai 5 Kantor Manajemen Universitas Airlangga, Senin, 3 April 2023, dipenuhi kehadiran dosen-dosen dari berbagai fakultas untuk mengikuti Sosialisasi Inpassing Jabatan Akademik Dosen dan BKD. Acara dihadiri Wakil Rektor Bidang SDM Prof D. Muhammad Madyan, Sekretaris Universitas Koko Srimulyo, Direktur SDM Endang Masitoh, para dekan dan wakil dekan serta sekitar 300 lebih dosen dari berbagai fakultas.
Suasana hati sebagian besar dosen yang hadir tampak kurang bahagia. Itu berkaitan dengan informasi yang disampaikan bahwa bagi dosen yang tidak mengisi data di beban kerja dosen (BKD) hingga akhir April 2023, seluruh KUM (angka kredit) yang dikumpulkan di tahun-tahun sebelumnya akan hangus atau hanya dinilai 0. Artinya, meski dosen yang bersangkutan sebelumnya telah rajin menulis dan menghasilkan puluhan artikel, aktif menulis buku, aktif mengajar, dan lain-lain, semua tidak akan ada artinya jika tidak di-input secara digital.
Di era digital seperti sekarang ini, mau tidak mau dosen memang harus beradaptasi dan aktif untuk mengisi data di Sinta (Science and Technology Index), BKD, Basis Informasi Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Bima), dan lain-lain agar apa yang dilakukan terekam di dunia maya. Cuma, karena aturan yang diberlakukan dinilai agak mendadak, tidak semua dosen siap melaksanakannya.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang SDM Prof Muhammad Madyan mengakui bahwa dinamika perkembangan peraturan penilaian angka kredit (PAK) dan aturan kenaikan pangkat dosen terus berubah. Meskipun, tujuan diberlakukan Permen PAN-RB No 1 Tahun 2023 baik, yakni kenaikan pangkat dosen akan berbasis pada digitalisasi data. Masalahnya, dalam proses transisi di era digital ini, tidak semua dosen familier dengan kegiatan mengisi data di BKD, Sister, BIMA, Sinta, dan lain-lain.
Jabatan Fungsional
Bagi dosen, kenaikan jabatan fungsional adalah kenaikan jenjang karier yang diidam-idamkan. Siapa pun dosen tentu memiliki mimpi dapat meraih jabatan tertinggi sebagai guru besar dalam bidang ilmu tertentu. Tetapi, menjadi guru besar tentu bukan hal yang mudah –semudah membalik telapak tangan. Ada tahapan proses yang harus ditempuh sebelum dosen diakui dan disahkan sebagai guru besar.
Kebutuhan dan prasyarat untuk menjadi guru besar minimal harus mengumpulkan KUM sebanyak 850 KUM. Oleh sebab itu, untuk menjadi guru besar, dibutuhkan ketekunan dan kinerja dosen yang benar-benar optimal. Tidak mungkin seorang dosen dapat meraih jabatan guru besar jika selama mereka bekerja tidak aktif menulis dan tidak pula aktif terlibat dalam kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
Dosen yang hanya aktif mengajar, tetapi tidak melakukan kegiatan tridarma pendidikan yang lain, jangan harap dapat lolos menjadi guru besar. Berdasar pengalaman, di berbagai perguruan tinggi (PT), beberapa faktor yang menyebabkan dosen kesulitan untuk mengumpulkan KUM dari kegiatan tridarma adalah sebagai berikut.
Pertama, berkaitan dengan beban yang harus ditanggung para dosen. Selama ini bukan rahasia lagi bahwa tidak sedikit dosen yang malas mengurus kenaikan jabatan fungsional dan pangkatnya karena kesibukan melaksanakan tugas administratif atau karena mencari proyek atau sibuk terlibat dalam kegiatan di luar kampus. Dosen yang sehari-hari banyak dibebani dan harus menghabiskan waktu untuk menyelesaikan tugas administratif tentu tidak memiliki peluang naik pangkat dan jabatan karena tidak memiliki waktu untuk melakukan hal-hal lain.
Di berbagai PT, ketika dosen disibukkan dengan kegiatan untuk menyusun borang akreditasi program studi, misalnya, jangan harap mereka memiliki waktu untuk menulis artikel jurnal atau menulis hal yang lain. Dosen yang program studinya didaftarkan terakreditasi lembaga internasional, seperti FIBAA, biasanya dalam waktu yang cukup lama para dosennya akan disibukkan dengan tugas menyusun laporan maupun borang administratif yang melelahkan. Menurut penuturan sejumlah dosen, ketika mereka menyusun borang untuk akreditasi internasional, tidak jarang mereka harus mengerjakannya hingga malam hari. Akibatnya, kesempatan untuk menulis dan melakukan aktivitas akademik lain menjadi terkurangi.
Kedua, berkaitan dengan peluang dosen untuk melakukan penelitian dan kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dikontestasikan. Baik dari kementerian maupun universitas, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana yang tersedia untuk kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat relatif terbatas. Setiap tahun, tidak mungkin semua dosen dapat memperoleh bantuan dana penelitian dan pengabdian. Dari sebagian dosen yang mengusulkan proposal ke Dikti maupun ke universitas, kemungkinan diterima biasanya tidak lebih dari 30 hingga 40 persen.
Para dosen yang sehari-hari sibuk mengajar sering kali tidak memiliki waktu untuk menulis usulan proposal untuk kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Sementara itu, sebagian dosen yang pernah mencoba menulis usulan, ketika dalam beberapa momen usulan mereka tidak diterima, maka bukan tidak mungkin akan membuat sebagian dosen menjadi patah arang. Dengan dukungan dana yang tidak banyak, harus diakui sulit bagi semua dosen memperoleh kesempatan yang sama untuk lolos dari pendanaan pada usulan kegiatan penelitian maupun kegiatan pengabdian kepada masyarakat.