Ada perampok yang punya strategi memperlambat respons publik atau polisi. Caranya, membikin malu korban. Misalnya, korban ditelanjangi. Dengan begitu, ada tenggang waktu cukup bagi perampok untuk melarikan diri.
Buku Katz mengurai banyak hal dari teori sosiologi dan kriminologi. Tapi, paling relevan terhadap kasus perampokan sopir taksi di Jagorawi, ya bagian materi di atas.
Korban Suprapto didekati perampok secara lembut (teori 1-A). Korban pun percaya pada perampok. Pada pesanan ketiga, barulah korban dirampok. Di bagian itu perampok sekaligus menghindari pelacakan seumpama menggunakan pesanan online.
Di tahap berikutnya, inilah kekejaman perampok. Mereka menjadikan satu paket antara tahap kedua dan ketiga. Langsung. Sebab, korban sudah tak berdaya. Mabuk.
Titik lokasi perampokan sangat strategis (dalam perspektif perampok). Jauh dari masyarakat. Malam. Sepi. Seandainya berusaha minta tolong pengemudi yang melaju kencang di tol, korban pasti dianggap orang gila.
Akibat perampok menyatukan strategi tahap kedua dan ketiga, korban mati secara mengerikan. Bisa Anda bayangkan, orang mabuk jalan kaki di jalan tol. Berusaha mencegat mobil lewat, ingin memberi tahu bahwa ia habis dirampok.
Korban diprediksi berusaha mencegat mobil karena korban bukan orang kaya. Secara psikologis, ia sangat terpukul. Ngenes abis. Sehingga berjuang mati-matian menghentikan mobil lewat. Membuatnya mati. (*)