SURABAYA, HARIAN DISWAY - Membaca teks kitab suci, menginterpretasikannya dalam perspektif pengalaman pribadi, imajinasi serta sejarah Indonesia silam. Sebuah dekonstruksi tentang suara kemanusiaan dalam buku terbaru Soe Tjen Marching: Tiga Kitab.
Tatapan matanya tetap tajam. Ekspresinya tegas, spontan, dan tetap ramah. Humble. Begitulah sosok penulis produktif Soe Tjen Marching. Karya-karyanya tak pernah lepas dari soal kemanusiaan, kegetiran, terutama menyangkut peristiwa-peristiwa kelam bangsa Indonesia. Seperti tragedi ’65 maupun ’98.
Tampilan halaman buku puisi karya Soe Tjen Marching berjudul Tiga Kitab yang memiliki susunan rima yang menarik. -Elvina Thalita Alawiyah-
Seperti dalam buku yang baru saja dirilisnya berjudulTak Kunjung Padam. Tentang kisah eksil Gestok yang tinggal di luar negeri. Bukunya didiskusikan di markas KontraS Surabaya pada 1 April 2023 lalu. Berikutnya, tak lama berjarak, Soe Tjen merilis buku lagi.
Kali ini berbeda. Jika sebelumnya berupa prosa, novel, dan sebagainya, Tiga Kitab adalah buku kumpulan puisi. Bukti bahwa Soe Tjen produktif menulis puisi. ”Inilah hasil pandemi 2020. Semua kegiatan dilakukan di rumah. Saya banyak merenung dan jadilah puisi-puisi ini. Padahal sebelumnya saya sangat jarang menulis puisi,” ungkapnya.
Lewat buku itu, Soe Tjen mendekonstruksi kitab suci, menginterpretasikannya, lalu memunculkan pemaknaan baru. Tentu bagi mereka yang taat tak bisa menerima. Tapi dalam dunia postmodern, seseorang bebas berimajinasi, memaknai atau mempertanyakan segala nilai.
Bahkan yang dianggap sakral sekalipun.”Dalam hal ini Alkitab. Membaca kitab itu dari perspektif sastra. Jadi membaca ulang, sampai penulisan ulang kitab suci. Perlu ditekankan, dalam cara pandang sastra,” tandas dosen SOAS University of London itu.
Dirilis di Sekolah Mandala, di Jalan Putroagung, Surabaya, diskusi Tiga Kitab yang diinisiasi oleh Gaya Nusantara, pada 18 April 2023 itu, menghadirkan dua narasumber: Dede Oetomo dan Khanis Suvianita.
Soe Tjen membuka perbincangan dengan pengalaman pembacaannya terhadap Alkitab. Dengan koridor hermeneutik, dia menyebut bahwa sosok yang membuatnya simpatik justru setan atau iblis.
Dengan nada bercanda, Soe Tjen mengatakan, ”Setan menggoda Adam dan Hawa pakai berubah jadi ular segala. Kreatif lo. Lalu dalam ruang waktu lain, setan menggoda Yesus. Satu kali digoda, gagal. Dua kali, gagal. Tiga kali gagal. Lalu ditinggal begitu saja.”
Soe Tjen menganggap setan adalah mahluk santai. Yang tak punya beban apa pun dalam melakukan godaan. Hal itu dinilainya berbeda dibanding sosok Tuhan. ”Seperti ketika Tuhan mencobai Abraham. Sekalinya dites, langsung disuruh membunuh anaknya. Kalau enggak nurut, dihukum,” ungkapnya, lantas tertawa.
Kesibukan lain Soe Tjen Marching selain berdiskusi yakni menandatangani bukunya yang diserbu peminat tulisan-tulisannya. -Elvina Thalita Alawiyah-
Soe Tjen lantas mempertanyakan mengapa Alkitab tak menulis sosok ibu atau istri Abraham. ”Bagaimana bisa tidak diceritakan perasaan seorang ibu ketika suaminya berpamitan mau menyembelih puteranya? Mengapa?,” tanyanya.
Lantas dia menghubungkan kisah-kisah itu dengan peristiwa '65 maupun '98. Genosida atau pembunuhan massal, berawal dari usaha menstigmakan para korban sebagai setan atau berkelakuan layaknya setan. ”Dianggap orang yang ingkar, tak percaya Tuhan, menentang agama seperti setan. Lalu dianggap layak untuk dibunuh. Sama ceritanya ketika Tuhan memusnahkan orang-orang yang dianggap berkelakuan iblis,” terang perempuan 50 tahun itu.
Khanis menilai bahwa puisi-puisi Soe Tjen dalam Tiga Kitab menggambarkan kritik tentang berbagai peristiwa kelam bangsa, dan bagaimana agama menjawabnya. ”Jadi puisi-puisi ini adalah suara kemanusiaan yang paling riil,” ungkap psikolog itu.
Narasumber diskusi buku Tiga Kitab, Khanis Suvianita, seorang psikolog. -Elvina Thalita Alawiyah-
Dia mencontohkan puisi Bapa Kami. Doa umat Kristiani yang diubah sedemikian rupa dihubungkan dengan tragedi '98. Soe Tjen membaca potongan puisi Bapa Kami.
Ya Bapa di surga/Datanglah kerajaan-Mu/Terwujudlah kehendak-Mu/Kau takdirkan aku berada dalam bis/Bulan Mei itu bersama adikku yang juga bermata sipit/dan Kau biarkan para lelaki menjajah tubuhku/Merobek tubuh adikku.