Mereka orang desa yang pindah ke kota. Mereka menjenguk keluarga, kerabat, karib, dan bernostalgia suasana tempat mereka dibesarkan, dulu. Mereka bagi-bagi amplop kepada sanak-kerabat di sana, pertanda sukses, atau seolah-olah sukses, hidup di kota. Beberapa hari kemudian mereka akan balik ke kota, disebut arus balik.
Mereka (di masa lalu) memprediksi bahwa kalau tetap hidup di desa, mereka tidak bakal mengubah nasib. Terbukti, kini nasib mereka bisa bagi-bagi amplop kepada warga desa.
Berarti, tidak ada pembangunan di desa. Jangankan pembangunan desa. Infrastruktur jalan pun tetap. Yang dibangun bangsa Belanda dengan mempekerjakan orang kita dari Anyer sampai Panarukan. Cuma ditambal yang gompal-gompal.
Rakyat menangis terharu oleh tol trans-Jawa. Juga, trans lain-lain sampai ke Indonesia Timur. Seolah Indonesia baru saja merdeka. Terus, ngapain pengelola pemerintahan di masa lalu? Apa kontribusi mereka kepada rakyat?
Tapi, sudahlah… Jangan suka menyalahkan orang lain. Terutama sebangsa. Di Amerika Serikat (AS) pun dulu begitu.
Duo sosiolog AS, Patrick J. Carr dan Maria J. Kefalas, dalam riset mereka yang dibukukan bertajuk Hollowing Out the Middle: The Rural Brain Drain and What It Means for America (2010), mengungkap bolongnya (hollowing) Amerika Tengah akibat urbanisasi.
Warga AS di wilayah tengah yang kurang maju sejak lama berbondong ke wilayah pantai timur dan pantai barat yang kini sangat maju. Pada hari tertentu, setahun sekali, mereka mudik juga ke Amerika Tengah.
Riset duo sosiolog itu dibiayai MacArthur Foundation selama setahun, pada 2001, hidup dan riset di perdesaan Iowa, negara bagian ke-29 AS yang berlokasi di Amerika Tengah. Khusus meriset, mengapa orang tengah migrasi ke barat dan timur? Mereka mewawancarai dan hidup bersama responden. Baik dari sisi kelompok yang menetap di desa maupun yang bermigrasi ke kota, lalu mudik.
Hebatnya, orang AS tidak ”malu” mengulik kesalahan pemimpin mereka sendiri dengan riset ilmiah. Dari situ mereka memperbaiki diri, memakmurkan rakyat.
Dipaparkan, ribuan kota kecil di perdesaan Amerika Tengah kosong oleh orang-orang berbakat dengan aneka potensi. Karena mereka berbondong ke wilayah yang tampak ”menjanjikan”. Bagai bison pindah dari tanah gersang ke lapangan yang kelihatan bakal jadi sabana.
Ditulis: ”Orang-orang muda yang cerdas dan ambisius, yang kami juluki Achievers (Pencapai) meninggalkan desa-desa mereka. Pergi ke kota-kota yang awalnya dulu belum maju, tapi berpotensi jadi maju. Kemudian, terbukti jadi sangat maju.”
Dilanjut: ”Tinggallah di desa-desa para Stayers (Penetap) yang memang sejak awal ogah pindah ke kota dengan berbagai alasan.”
Carr dan Kefalas menyurvei 275 lulusan sekolah menengah setempat (jadi, dalam 364 hari mereka hampir tiap hari bergerak) untuk menguak, siapa yang bakal jadi Achievers dan siapa yang bakal jadi Stayers. Mereka juga mengungkap para alumnus di sana, mencari tahu, mengapa mereka pindah ke kota dan mengapa mereka menetap di desa.
Penelitian sosial itu sangat detail mengungkap perincian data. Lalu, dibedah dengan pisau teori sosiologi. Menghasilkan beberapa teori. Tapi, yang menarik, penyebab urbanisasi anak-anak muda potensial itu justru para guru mereka, atau para sesepuh di desa, yang mengatakan, ”Si A berpotensi sukses seandainya hidup di kota.”
Kalimat itu bagai ”kompor” yang membakar jiwa muda para pelajar untuk mengadu nasib di kota-kota besar. Antre berbondong. Dan, umumnya mereka memang sukses. Sebab, penerawangan guru pastinya tidak sembarangan.
Namun, (ini bedanya dengan di Indonesia) hampir separuh dari mereka yang sudah sukses di kota bakal balik ke desa mereka. Mengisi posisi karier yang kosong di desa-desa itu karena para Stayers memang tidak mampu mengisinya.