Liberalisasi Dokter

Sabtu 13-05-2023,22:29 WIB
Reporter : Dhimam Abror Djuraid

RIBUAN tenaga kerja dan tenaga medis melakukan unjuk rasa di Jakarta, 8 Mei 2023. Mereka memprotes rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law yang dianggap sebagai upaya pemerintah melakukan liberalisasi terhadap layanan kesehatan.

Beberapa organisasi profesi dokter mengikuti unjuk rasa itu. Umumnya mereka keberatan karena peran organisasi profesi akan dihapus atau dikurangi. Kewenangan mengurusi dokter yang selama ini ada di tangan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) akan banyak diambil alih oleh pemerintah melalui Kementerian Kesehatan.

Poin lain yang menjadi pokok keberatan adalah dibukanya pintu liberalisasi layanan kesehatan dengan mengizinkan masuknya dokter-dokter asing. Selain itu, atas nama investasi, RUU membuka pintu kepada modal asing untuk masuk ke sektor layanan kesehatan dengan lebih bebas.

Persaingan bebas semacam itu akan menjadi pisau bermata dua. Masuknya doker asing akan membawa risiko keamanan pasien. Sebab, standar dan kualifikasi dokter asing belum jelas, terutama yang menyangkut kendala bahasa. Di sisi lain, dokter asing yang lebih berkualitas dan didukung rumah sakit hasil investasi asing akan mengancam keberadaan dokter dan rumah sakit lokal yang kalah bersaing.

Investasi asing yang terbuka akan melahirkan persaingan pasar bebas dalam industri layanan kesehatan. Hal tersebut dianggap sebagai ancaman serius karena industri kesehatan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Indonesia, baik yang mampu maupun yang tidak mampu. Liberalisasi layanan kesehatan akan merugikan masyarakat yang tidak mampu mengakses layanan kesehatan yang berbiaya tinggi akibat persaingan bebas.

Aksi unjuk rasa di Jakarta itu terasa sebagai deja vu yang sudah sangat sering terjadi. Puluhan ribu buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja yang diangap sebagai bagian dari liberalisasi sektor tenaga kerja yang merugikan para buruh. Hasilnya, pemerintah yang tetap menang. Unjuk rasa bergelombang puluhan ribu buruh itu sama sekali tidak memengaruhi para anggota DPR untuk mengesahkan undang-undang tersebut.

Ada upaya menggugat UU Ciptaker ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hasilnya, pemerintah diharuskan melakukan revisi dan mengubah beberapa bagian dari undang-undang tersebut. Bukannya menaati putusan MK, pemerintah memilih jalan pintas dengan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). 

Unjuk rasa besar tidak menjadi tekanan yang membuat pemerintah mundur. Revisi undang-undang KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) pada 2019 diprotes puluhan ribu orang, termasuk mahasiswa di seluruh Indonesia. Ketika itu sempat muncul dugaan bahwa mahasiswa sudah bangun dari tidur dan mulai bergerak di seluruh Indonesia. Ternyata, undang-undang tetap disahkan dan mahasiswa tidak bereaksi.

Hal yang sama terjadi pada saat pengesahan UU Minerba, UU HIP (Haluan Ideologi Negara), UU Lingkungan Hidup, UU Agraria dan Ketenagakerajaan, UU KUHP, dan yang terbaru Undang-Undang Kesehatan. Ujung-ujungnya sama saja, pemerintah yang menang.

Kali ini pun para dokter dan tenaga kesehatan harus siap-siap gigit jari. Kalaupun ada konsesi yang diberikan, itu akan sangat minimal. Pemerintah akan tetap menjadi pemenang. Dalam sisa waktu pemerintahan Jokowi yang pendek ini, pemerintah seperti kejar setoran mengesahkan belasan undang-undang yang diborong menjadi satu dalam paket omnibus law.

Indonesia baru saja lepas dari pandemi Covid-19. WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) baru saja mengumumkan bahwa pandemi sudah berakhir dan virus Covid-19 diperlakukan sebagai endemi biasa sebagaimana penyakit lain yang disebabkan virus. Presiden Jokowi sudah mendahului WHO dengan mengumumkan pemberhentian protokol kesehatan.

Dalam banyak kesempatan, Jokowi menyatakan bangga terhadap keberhasilan Indonesia dalam mengatasi pandemi. Salah satu yang diklaim dengan bangga oleh Jokowi adalah keputusannya untuk tidak menerapkan lockdown pada masa awal pandemi. Dalam sebuah kesempatan, Jokowi mengatakan bahwa keputusan untuk tidak menerapkan lockdown itu merupakan keputusan penting yang membuat penanganan pandemi di Indonesia sukses dan pertumbuhan ekonomi tetap bertahan.

Jokowi dengan bangga mengatakan bahwa dirinya melakukan semedi tiga hari tiga malam sebelum mengambil keputusan itu. Keputusan tersebut oleh Jokowi dianggap sebagai saat paling menentukan dalam penanganan pandemi di Indonesia. 

Jokowi berhak mendapatkan kredit terbesar dari keberhasilan penanganan pandemi di Indonesia. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah para pahlawan pandemi yang meninggal selama pandemi. Tercatat sedikitnya 2.000 dokter dan tenaga kerja meninggal dalam tugas. 

Pemerintah juga tidak boleh lupa terhadap jasa rumah sakit swasta yang rela berkorban untuk menjadi tempat perawatan dan isolasi mandiri selama masa-masa paling genting saat pandemi. Pemerintah pernah menunggak pembayaran sampai sebesar Rp 22 triliun terhadap rumah sakit swasta yang menangani pasien pandemi. Pemerintah juga tidak boleh lupa terhadap partisipasi masyarakat yang sukarela membantu tetangga yang terpapar.

Kategori :