HARIAN DISWAY - Peristiwa '65 begitu mencekam. Banyak orang yang diseret dari rumah, lalu tak diketahui lagi kabarnya. Banyak pula yang bernasib naas, dibunuh. Keadaan serba tak menentu diceritakan panjang lebar oleh perempuan tua itu pada Soe Tjen Marching. "Segera setelah Kamboja diculik, saya mencari kawan-kawan Gerwani lainnya. Keadaan serba tak menentu dan mencekam. Tak tahu siapa lawan, siapa kawan," ujarnya. Perempuan tua itu masih lancar bercerita. Kenangan kelam pasca-Gerakan 1 Oktober 1965 itu begitu melekat di benaknya.
Soe Tjen yang menjadikan perempuan itu sebagai narasumber karya tulisnya, hanya bisa terdiam. Tercekat tapi emosinya sampai ke ubun-ubun. Tak tahan mendengar perlakuan para penculik itu terhadap para korban yang sebenarnya tak tahu apa-apa.
Bahkan saat menceritakannya kembali pada Harian Disway, di kediamannya di Jalan Putro Agung, Surabaya, Soe Tjen tampak berapi-api. Lebih berapi-api daripada saat dia menjadi pembicara dalam seminar '65, atau dalam diskusi tentang buku-bukunya.
Soe Tjen Marching melihat-lihat galeri foto bersama seorang kawan. Soe Tjen dikenal luas karena lantang menyuarakan hak-hak korban peristiwa '65. -Soe Tjen Marching-
Satu hal lagi yang mungkin jarang dilihat dari sosok Soe Tjen: menangis. Di mana pun, dia selalu terlihat tegar. Tegas, lepas, tanpa tedeng aling-aling. Namun dalam pembicaraan empat mata sore itu, air matanya jatuh.
Dua kali dia mengusap pipinya yang basah. Pertama, saat bercerita tentang papanya, Oei Lian Bing. Kedua, ketika bercerita tentang perempuan itu. Wajar, karena dalam setiap momen pertemuan dengan narasumbernya yang korban '65, dia selalu menyelami keseharian mereka. Seperti menginap berhari-hari di rumah narasumber, makan dan duduk bersama setiap hari.
Dengan cara itu, keakraban terjadi. Pembicaraan pun menjadi sangat cair. Semua dibuka dengan gamblang tanpa ada yang disembunyikan. Itulah sebabnya tulisan-tulisan di buku Soe Tjen selalu tajam. Detail sekecil apa pun tak luput dari pengamatannya. Karena dia telah mengamati tak hanya sehari dua hari. Bisa seminggu dua minggu.
"Sampai mana saya tadi? Ah ya, perempuan tua itu mencari kawan-kawannya setelah si Kamboja diculik," ungkapnya, usai mengusap air mata. Soe Tjen melanjutkan. Dengan diam-diam, para anggota Gerwani satu per satu ditemuinya. Memastikan bahwa mereka aman. Tapi ada juga yang telah hilang entah kemana. Proses hilangnya hampir serupa dengan cerita diseretnya Kamboja dari rumah.
"Dua kawan saya, sebut saja Anggrek dan Melati, saya tanyai tentang Kamboja. Ada yang melihatnya? Bagaimana nasibnya? Sudah mati atau berada dalam tahanan?," kenangnya. Apa jawab mereka?
Perempuan tua itu menghela napas. Kemudian melanjutkan, "Diam. Hanya terdiam. Tak berapa lama dia mengalihkan pembicaraan: Kami khawatir, Presiden Soekarno digulingkan". "Kamboja bagaimana nasibnya?" "Musuh Presiden Soekarno sudah terlalu banyak"
Lantas perempuan tua itu menoleh pada Soe Tjen. Menatapnya tajam. "Untuk apa saya bertanya lagi tentang Kamboja. Ya kan? Sementara Anggrek dan Melati sibuk membicarakan Soekarno," ungkapnya.
Dia memalingkan wajah, lalu tertawa lirih. Tawa sinis. "Heran, perempuan-perempuan Gerwani yang begitu gigih memperjuangkan nasib kaumnya seperti mereka, tiba-tiba saja memikirkan Soekarno. Bisa begitu patuh sama Soekarno," jawab perempuan yang usianya telah lebih dari 80 tahun itu.
"Padahal, aksi Gerwani salah satunya adalah menentang poligami. Mengapa mereka tak pernah mempertanyakan tentang poligaminya Bung Karno? Presiden kita itu memperlakukan perempuan seperti hiasan saja," ketusnya.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, dia mendengar Anggrek diseret dari rumah. Juga oleh para penculik yang berpakaian serba hitam ala ninja. Penduduk kampung mendengar teriakan histerisnya. Lantas menghilang. Tak ada yang tahu dia dibawa ke mana.
Pun tak lama, terdengar kabar bahwa suami Kamboja melolong histeris. Menyaksikan mayat yang teronggok di tengah rimbun semak-semak bambu. Sudah tak berbentuk. Membusuk, mengeluarkan bau tak sedap. "Ya, jenazah Kamboja. Suaminya menemukan jenasahnya di rimbun bambu itu," katanya.
Menyusul selebaran yang dipasang di papan pengumuman desa. Isinya, kliping koran yang menunjukkan foto seorang Gerwani. Kliping itu menuliskan bahwa perempuan itu telah mengaku menyilet-nyilet para jenderal. Bahkan memperkosa mereka, lalu setelahnya menari-nari telanjang di depan mereka yang sekarat.