HARIAN DISWAY - Perempuan tua itu memiliki ingatan tajam. Dengan lugas dia bercerita pada Soe Tjen Marching tentang mencekamnya suasana pasca-Gerakan 1 Oktober 1965 di Jakarta. Kekejian demi kekejian diungkap. Soe Tjen mendengar dengan dada penuh sesak. Menahan amarah.
Soe Tjen Marching dan Fakta Gerakan 1 Oktober 1965: Para Ninja Menyeret Kamboja (15)
Kamis 11-05-2023,22:23 WIB
Editor : Heti Palestina Yunani
Rumah sederhana yang dihuni perempuan tua bekas Gerwani. Di pinggir hamparan sawah dan pepohonan rimbun. Desa kecil di pelosok negeri yang namanya saja tak begitu dikenal. Apalagi orang yang tinggal di rumah sederhana itu. Tapi apa yang diceritakannya pada Soe Tjen, mengungkap hal-hal besar. Sejarah kelam Gerakan 1 Oktober 1965 yang secara umum masih hitam putih, atau masih terkontaminasi dengan propaganda Orde Baru. Rambut panjangnya tergelung. Satu dua helai yang telah memutih itu tersingkap ke sisi kiri dan kanan. Perempuan tua itu kembali bercerita pada Soe Tjen, yang duduk di sampingnya. Keduanya dibatasi meja kayu dengan dua gelas teh hangat serta pisang goreng. "Satu hal," ujar perempuan itu, mengacungkan telunjuknya. Tampak bergetar telunjuk itu. Bukan karena emosi, melainkan karena usianya memang telah lebih dari 80 tahun. Lantas melanjutkan, "Seperti yang saya katakan sebelumnya. Jika ingin melihat cermin masyarakat, maka lihatlah anak-anak yang sedang bermain". Untuk mengamati situasi dan pendapat masyarakat, pasca-kejadian 1965, perempuan itu selalu melihat anak-anak di desanya yang sedang bermain. Celoteh mereka adalah wujud dari obrolan dalam lingkungan keluarga. "Awalnya, mereka tak peduli dengan selebaran-selebaran 'Ganyang PKI'. Tapi beberapa hari kemudian, anak-anak itu tampak was-was. Mereka tak lagi bermain-main dengan selebaran yang ditempel dimana-mana itu," kenangnya. Suasana desa saat itu menjadi sunyi. Jika dulu ada puluhan anak bermain, ketika itu hanya dua-tiga anak saja. Hingga perempuan tua itu menyaksikan di depan matanya, anak-anak yang menemukan karung putih yang penuh darah. Mereka mengambilnya dari sungai dan meletakkannya di tepian. Lalu berkata, "Wah, mayit. Ini yang mbunuh pasti PKI!," kata salah satu dari mereka. Begitu pun anak-anak lain. Mereka berlarian memberitahu orang tuanya, sekaligus orang-orang desa. "Anak-anak sekecil itu sudah terpengaruh omongan tentang PKI. Isu PKI yang haus darah begitu marak. Korban-korban yang ditemukan mengapung di sungai, katanya dibunuh PKI. Apa iya?," ujarnya.
Soe Tjen Marching berjuang mencari narasumber korban peristiwa '65 hingga berbagai pelosok daerah demi mengungkapkan kebenaran. -Soe Tjen Marching- Soe Tjen memalingkan muka. Sejenak menyibak rambutnya ke belakang. Tatapan matanya kosong. "Tentu kejadian itu adalah upaya untuk memfitnah orang-orang yang dituduh PKI," jawabnya. Perempuan itu hanya tersenyum getir. Lalu melanjutkan, "Pertengahan Desember, sebelum Natal, suami kawan saya yang juga anggota Gerwani, datang ke rumah dengan terengah-engah. Ia mengabarkan bahwa istrinya ditangkap". Dia masih ingat. Malam itu si lelaki datang dengan histeris. Ia menyebut bahwa orang-orang berpakaian serba hitam dengan penutup wajah, datang lalu menyeret istrinya. "Sebut saja kawan saya itu Kamboja. Suaminya berkali-kali bilang, istriku diculik ninja. Diculik ninja!," tambahnya. Padahal perempuan tua dan kawan Gerwani lain pernah menolong Kamboja. Saat itu suaminya begitu galak. Suka memukuli Kamboja. Bahkan tanpa alasan. "Kami ajak isterinya itu masuk Gerwani. Diberi pengarahan dan wawasan. Lalu kami datang ke rumahnya. Maksud hati ingin mengajak bicara suaminya. Eh, saat itu, si Kamboja sudah berani melawan," kenangnya. Saat anggota Gerwani ke rumahnya, Kamboja hendak dipukul suaminya. Lantas mereka melihat langsung bahwa Kamboja berdiri melawan, menantang mata suaminya dengan menggendong anaknya yang masih balita. "Sejak hari itu, tamparan-tamparan sudah tak dirasakan lagi oleh Kamboja. Karena dia berani. Perempuan tak selayaknya diperlakukan seperti itu. Itu yang kami, Gerwani, perjuangkan. Kesetaraan," ujarnya. Dia mempertanyakan mengapa organisasi yang begitu gigih memperjuangkan kaum perempuan, bisa dituduh menyilet-nyilet para jenderal, lantas dikatakan nandak-nandak sambil telanjang saat para jenderal itu sekarat. "Hihihi… begitulah cerita karangan pada masa itu. Kami difitnah habis-habisan," ujarnya, diawali dengan lagi-lagi tertawa getir. Tak cukup kejadian itu. Beberapa hari setelahnya, rumah Kamboja kembali didatangi para ninja itu. Lantas menyeret ayah Kamboja beserta kakak lelaki tertua. "Suami Kamboja melihat sendiri kejadian itu. Adik-adik iparnya hanya bisa melongo dan menangis. Ibu Kamboja sempat melawan. Mengadang para ninja itu," ungkapnya. Soe Tjen penasaran, "Lantas apa yang terjadi pada ibu Kamboja?," tanyanya. Perempuan itu menunduk. Bibirnya tertarik ke atas. Kegeraman yang tampak, tapi tak mampu diluapkan. "Ibunya?," tanyanya balik. Soe Tjen mengangguk. "Saat mencoba mengadang sambil berteriak-teriak, lalu melempar apa pun yang ada pada para ninja, salah satu dari mereka datang lalu memukul tengkuknya dengan popor senapan. Ibu Kamboja pingsan". (Heti Palestina Y-Guruh Dimas Nugraha)
Indeks: Jenazah di tengah rimbun semak bambu, baca besok...
Kategori :