HARIAN DISWAY - Pengalaman Susanti Mayangsari mendampingi anak tulis mendorong penerbitan buku Menumbuh dan Membumi: Anakku, Anakmu, Anak Ibu Pertiwi. Apa yang melatarbelangkangi Susanti menuliskan kisahnya menjadi buku? Anak perempuan berusia dua tahun itu menangis tiada henti. Sang ibu, Susanti, bingung dengan polahnya. Apa pun usaha dia membujuk, si anak tak kunjung berhenti menangis.
Hal seperti ini cukup sering terjadi. Susanti merasa ada sesuatu yang tidak nyambung pada cara dia berkomunikasi dengan anaknya, Celia Qonita Tamima.
Susanti pun merasa stres. Sedikit banyak, sebelum menikah dia memiliki latar belakang pendidikan Jurusan Komunikasi di Universitas Indonesia. Maka, dia mengerti ada yang salah di sini.
Celia, anak nomor tiga dari empat bersaudara itu, didiagnosa dokter ada gangguan dengan pendengarannya karena virus Rubella. Namun, sejauh upaya Susanti untuk menangkap maksud dan keinginan anaknya belum sepenuhnya tercapai.
“Anak saya terlahir prematur. Dia menjadi tuli dan mengalami kelainan jantung karena terinfeksi virus Rubella. Tiga saudaranya bisa mendengar,” tutur Susanti saat dijumpai di Aula A20 Universitas Negeri Malang (UM), saat peluncuran bukunya.
Salah seorang anak tuli yang sedang menikmati pameran ilustrasi buku karya Alim Bachtiar dalam peluncuran buku yang ditulis Susanti Mayangsari. -Marta Nurfaidah-
Penasaran mengenai hal tersebut, Susanti mencari informasi lebih jauh ke orang-orang dewasa tuli. Dari sanalah, ada celah informasi untuk Susanti mengenai bahasa isyarat. Walaupun masih balita, anak dengan gangguan pendengaran perlu diajari bahasa isyarat agar mampu berkomunikasi dengan baik.
Bergabunglah Susanti dengan komunitas orang tua anak tuli, Keluarga Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia). Wanita berdomisili di Jakarta ini sebelumnya sudah mengikuti berbagai komunitas. Di antaranya, komunitas orang tua anak lahir prematur, anak dengan kelainan jantung, dan anak sakit oleh virus Rubella.
Ketika Susanti sudah belajar dan menguasai bahasa isyarat, dia kemudian mengajari Celia. Begitu anaknya mengenal bahasa isyarat, tantrumnya berkurang hingga 80 persen. Susanti menekankan, boleh percaya atau tidak tetapi itulah realita yang terjadi di rumahnya.
“Wah, sebelumnya ketika ada kotoran kucing, Celia hanya bisa tantrum hingga berguling-guling. Ternyata, dia ingin dimengerti kalau ada kotoran kucing dan tidak menyukainya,” kisah Susanti.
Perubahan luar biasa terjadi. Komunikasi di antara keduanya perlahan-lahan membaik. Yang semula Susanti khawatir tidak bisa mengajarkan cara bersopan santun kepada anaknya sebab berbicara saja tidak nyambung., Sekarang kerisauan itu teratasi. “Celia itu butuh komunikasi atau bahasa, bukan butuh dengar. Meski pakai alat bantu dengar yang mahal pun dan terapi, dia tetap tantrum, kok,” ungkap Susanti.
Proses belajar bahasa isyarat ini membuatnya berkenalan dengan Galuh Sukmara, pendiri sekolah tuli The Little Hijabi di Bekasi yang juga seorang tuli dewasa. Keduanya kerap berdiskusi walaupun Celia tidak bersekolah di tempat Galuh.
Berkat diskusi dengan banyak teman dari berbagai komunitas serta pengalaman langsung bersama Celia, Susanti berpikir pemahaman mengenai anak dengan gangguan fungsi panca indera dan tubuh harus diubah.
Selama ini, orang memandang perihal tuli dari sisi medis saja. Jika anaknya tidak bisa mendengar, maka dia harus dibantu agar bisa mendengar. Masalahnya, tidak semua anak terbantukan dengan tindakan itu. “Bahasa isyarat itu bagian dari budaya orang-orang tuli dan identitas mereka. Maka, mereka bangga dengan memakai bahasa isyarat,” ucap Susanti.
Kini, dia bisa mengekspresikan diri dan Celia mampu bercerita segala hal dan beraktivitas dengan aktif. Dia memahami jika Celia tidak diberi pendengaran oleh Tuhan, pasti di baliknya ada hikmah lain. Sebab, Tuhan tidak pernah salah dalam memberikan sesuatu kepada ciptaan-Nya. (Marta Nurfaidah)