SAYA sempat sakit hati. Ketika seorang kawan dari BUMN jasa memandang remeh BUMN perkebunan. ”BUMN miskin. Tak punya uang,” katanya tanpa sungkan.
Itu terjadi tiga tahun lalu. Tepatnya di awal 2020. Ketika pandemi Covid-19 belum melanda. Saat saya baru mendapat penugasan menjadi bagian dari keluarga PTPN Group.
Saat itu saya hanya bisa memendam sakit hati tersebut. Sebab, memang demikianlah kenyataannya. Boro-boro banyak duit seperti BUMN lain. Utangnya yang berjibun.
Ternyata dendam yang sama tertanam di puncak pimpinan BUMN yang punya aset lahan ratusan ribu hektare itu. Perusahaan yang sudah beroperasi ratusan tahun karena tinggalan Hindia Belanda.
Mereka mulai melakukan perubahan yang radikal dan mendasar. Transformasi bahasa kerennya. Dengan merombak tata kelola. Dari yang hanya sebagai koordinator banyak entitas menjadi holding operasional.
”Selama ini holding tak punya power untuk mengendalikan anak perusahaannya. Karena itu, kita mulai dengan pool power ke holding,” kata Direktur Utama PTPN III Holding Muhammad Abdul Gani suatu ketika.
Tahun itu, 2020, memang menjadi tonggak transformasi BUMN perkebunan. PTPN Group khususnya. Yang punya 14 anak perusahaan. Belum cucu-cucunya. Belum perusahaan pendukungnya.
Reorganisasi perusahaan negara yang dikenal dengan holding-isasi sebenarnya sudah sejak 2014. Tapi, di lingkungan PTPN Group belum menghasilkan perbaikan kinerja. Terbukti, hampir semua unit usahanya merugi. Plus terlilit utang.
Ada banyak utang investasi yang tak berlanjut. Itu menjadi beban perusahaan. Mereka harus terus membayar bunga dan pokok tanpa menghasilkan. Akhirnya gali lubang tutup lubang.
Transformasi dimulai dengan menarik sejumlah kewenangan pimpinan anak perusahaan ke holding. Mulai kewenangan strategis sampai operasional. Anak perusahaan hanya menjadi operator produksi.
PTPN Group memperoleh momentum. Meski transformasi itu dibayangi pandemi di seluruh dunia, BUMN tersebut malah memperoleh ”berkah”-nya. Harga salah satu komoditas utamanya melonjak tajam. Dapat windfall lonjakan harga minyak sawit dunia.
Rezeki anak saleh, kata orang untuk menyebut keberuntungan yang tak disangka-sangka. Ketika BUMN lain kesulitan, pandemi menjadikan BUMN pangan panen. Windfall alias durian runtuh dari komoditas sawit itu membuat PTPN Group punya ruang gerak lebih untuk berubah.
Dalam dua tahun terakhir, keuntungan PTPN Group melonjak tajam. Dari BUMN miskin langsung masuk 10 BUMN penggaet keuntungan terbesar. Berdasar laporan keuangan 2022, laba bersih PTPN Group mencatat angka Rp 6 triliun.
Reorganisasi dilanjutkan. Dari yang tadinya ada 14 PTPN, diperas lagi menjadi tinggal 4 entitas. Satu holding dan tiga subholding. Reorganisasi dilakukan berdasar core bisnisnya. Ada single identity gula dan sawit. Ada supporting co di luar Sugar Co dan Palm Co.
Sugar Co sudah terbentuk tahun kemarin. Semua pabrik gula di bawah PTPN Group digabung menjadi PT Sinergi Gula Nusantara (SGN). PT SGN akan mengawal program pemerintah untuk pemenuhan gula nasional. Yang selama ini masih bergantung impor.