BUKAN lagi bisik-bisik. Bukan lagi rasan-rasan. Juga, bukan lagi rahasia. Presiden Jokowi sendiri yang mengatakan dirinya akan cawe-cawe dalam pemilihan presiden 2024.
Begitulah pernyataan yang dilontarkan Jokowi di depan pimpinan media. Itu menimbulkan reaksi negatif karena banyak pihak mengartikan presiden akan memengaruhi hasil suara. Istana pun buru-buru memberikan klarifikasi. Tak kurang, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menerjemahkan cawe-cawe Jokowi itu adalah memastikan pilpres tepat waktu. Lancar. Juga adil.
Namun, persoalannya, mulai muncul kekhawatiran di sebagian publik. Jangan-jangan, penguasa bakal tak netral. Itu tak lepas dari langkah Jokowi yang secara terang-terangan menyiapkan ”putra mahkota”. Jokowi telah terlibat aktif mengumpulkan para pimpinan parpol untuk memastikan siapa penggantinya.
Sistem presidensial yang memberikan kekuasaan besar dan jabatan yang begitu banyak kepada presiden kadang menimbulkan pertanyaan: presiden itu jabatan politis atau jabatan negara. Presiden adalah kepala negara, juga kepala pemerintahan. Pun, sebagai panglima tertinggi TNI. Pun, pemegang kekuasaan yudikatif dalam hal memberikan grasi, abolisi, dan amnesti.
Sebagai kepala negara, presiden adalah pejabat negara yang harus bersifat negarawan. Berdiri di atas semua golongan kelompok. Begitu pula sebagai panglima tertinggi TNI, presiden harus menjadi negarawan yang menempatkan keutuhan negara di atas segala-galanya.
Presiden kita juga merangkap sebagai kepala pemerintahan. Di negara-negara yang menganut sistem parlementer, tugas kepala pemerintahan dipegang PM (perdana menteri). Beda dengan Indonesia yang menganut sistem presidensial.
Namun, kenyataannya, sistem presidensial kita mirip dengan parlementer. Presiden sebagai kepala pemerintahan membagi kekuasaan dengan parpol pendukungnya. Membagikan jatah menteri kepada parpol koalisinya. Presiden yang sejatinya memiliki hak prerogatif dalam menyusun pemerintahan (kabinet) kadang-kadang terkesan ”menyerah” dengan sodoran parpol.
Pada titik kompromi dengan parpol itulah, presiden yang seharusnya menjadi pejabat publik berperan sebagai politikus.
Presiden Jokowi sendiri yang menyebutkan dirinya sebagai pejabat publik yang juga pejabat politik. Itu diungkapkannya seusai mengumpulkan pimpinan parpol di istana.
Padahal, bila bersikap mendukung calon tertentu, seorang presiden otomatis akan memengaruhi peran dirinya yang lain.
Sebagai contoh, dalam kapasitas sebagai kepala pemerintahan, presiden menjadi pemimpin tertinggi (pembina) ASN (aparatur sipil negara). Bagaimana kita bisa menjamin birokrasi dan ASN bersikap netral bila seorang presiden mendukung calon tertentu?
TNI, sebagai alat negara, juga wajib hukumnya bersifat netral. Karena itu, presiden sebagai panglima tertinggi TNI pun harus pada posisi netral.
Bila cawe-cawe presiden diartikan sebagai upaya memastikan pilpres dan pemilihan anggota legislatif berlangsung lancar dan tepat waktu, ia cukup dengan menjaga netralitas dan kelancaran kerja KPU. Termasuk menjamin kesediaan anggaran dan keselamatan penyelenggara (KPU dan Bawaslu). Juga, menjaga jadwal pemilu dari upaya kelompok yang menginginkan pilpres ditunda.
Istana tak perlu masuk ke masalah teknis. Yang menjadi area kerja KPU dan Bawaslu sebagai lembaga netral.
Tentu akan menjadi prestasi yang akan dikenang rakyat Indonesia bila Presiden Jokowi mampu menyelenggarakan pemilu dengan adil dan sesuai jadwal.