Berlusconi berada di balik revolusi itu. Ia menjadi kaya raya dari sepak bola, kemudian menguasai bisnis media melalui jaringan televisinya. Dari situ Berlusconi mendirikan partai politik ”Forza Italia” (Majulah Italia) yang merupakan lagu kebangsaan suporter timnas sepak bola Italia.
Bersama partai itu, Berlusconi menguasai politik Italia. Ia menjadi perdana menteri yang powerful, dikagumi sekaligus dibenci. Beberapa kali jatuh, ia bisa bangun lagi. Tapi, akhirnya umur tidak bisa dilawan. Berlusconi harus menyerah, petualangannya terhenti, dan namanya tinggal menjadi sejarah.
Berlusconi menjadi contoh bagaimana sepak bola bisa menjadi alat politik yang efektif untuk menggalang massa. Sepak bola adalah olahraga paling digemari masyarakat Italia. Berlusconi pun memanfaatkannya untuk melakukan konsolidasi politik yang membawanya ke puncak kekuasaan.
Resonansi politisasi sepak bola terasa di Indonesia. Gagalnya perhelatan Piala Dunia U-20 adalah contoh nyata bagaimana politik memengaruhi sepak bola. Perhelatan kelas dunia itu mau tidak mau akan mendongkrak nama Erick Thohir ke level berikutnya. Dan, sangat mungkin ada banyak orang yang tidak menghendakinya. Maka, terjadilah penjegalan dan penjagalan itu.
Erick Thohir masih terus berkiprah dan bermanuver melalui sepak bola. Ia mendatangkan tim nasional Palestina untuk mengobati kekecewaan publik sepak bola Indonesia. Ia mendatangkan tim nasional Argentina untuk menaikkan level sepak bola Indonesia. Meski tim Argentina yang datang adalah tim kelas dua, Erick Thohir tetap mendapatkan kredit dari event itu.
Erick Thohir paham betul mengenai sepak bola Italia. Sebab, ia pernah menjadi presiden Inter Milan. Meski Inter Milan adalah musuh bebuyutan AC Milan, tidak tertutup kemungkinan Erick mempelajari taktik Berlusconi dalam mengelola sepak bola dan politik. Siapa tahu? (*)