Saya pernah membayangkan tentang pentingnya ormas Islam untuk menangkap segala perubahan di sekitarnya. Ketika terjadi gairah keberagamaan baru di perkotaan, ormas Islam yang ada bisa memberikan wadah yang nyaman. Bukan malah ditangkap oleh kelompok beragama yang tidak related dengan ke-Indonesia-an.
Maka, NU yang tadinya berkembang dari tradisi pesantren di perdesaan harus bertransformasi menjadi tradisi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat urban. NU di kota metropolis harus punya cara baru dalam merawat ”santri baru” di kota yang jumlahnya makin besar. Selama ini ”santri baru” di perkotaan lebih banyak dirawat kelompok lain yang tidak berakar di negeri ini.
NU seharusnya lebih bisa mengakomodasi mereka karena paham keagamaannya yang lebih moderat. Paham keagamaan yang lebih gampang mengadopsi kultur yang berkembang di dalam masyarakat. Paham keagamaan yang lebih bisa mengakomodasi pluralisme dalam masyarakat kota. Paham yang memungkinkan untuk tidak berbenturan secara keras dengan budaya lainnya.
Tapi, untuk bisa menjadi penggerak perubahan dalam masyarakat kota, diperlukan perubahan mindset dalam berorganisasi dan perubahan strategi dalam menggerakkan organisasi. Spirit keikhlasan dalam berdakwah di NU perkotaan perlu diikuti dengan profesionalisme dalam segala bidang. Apalagi di era perubahan yang begitu cepat sekarang ini.
Rebranding NU adalah cara menumbuhkan awareness baru terhadap ormas Islam itu. Namun, langkah rebranding tersebut harus diikuti dengan penguatan organisasi alias jam’iyah. Penataan organisasi di PCNU Surabaya sekarang ini adalah bagian upaya membangun tradisi baru dalam berorganisasi.
Harus diakui bahwa sebagai jamaah, NU tak terkalahkan. Namun, sebagai jam’iyah, masih banyak yang harus dibenahi. Jika jamaah diibaratkan sebagai gerbong, jam’iyah adalah lokomotifnya. Gerbong besar tak akan mungkin bergerak jika lokomotifnya bermesin kecil. Berbagai perubahan dalam berorganisasi yang dilakukan Gus Yahya bertujuan memperbesar torsi lokomotif agar bisa menarik gerbong yang besar.
Bahwa setiap perubahan besar selalu melahirkan kontraksi itu pasti. Namun, keseriusan para pemimpin NU untuk berubah merupakan energi yang akan imune dari guncangan-guncangan yang timbul akibat perubahan itu sendiri. Rasanya, kini lebih banyak yang ingin NU kuat secara jamaah dan jami’yah ketimbang yang tidak.
PBNU kini sedang membangun lokomotif besar agar bisa menarik gerbong besar itu bisa melaju cepat. Melaju cepat untuk bisa menjadi inisiator peradaban baru seperti NU saat didirikan seabad yang lalu. Menjadi penggerak karena langkah-langkah strategis. Menjadi organisasi yang tidak sekadar digerakkan gerbong bernama jamaah. Tapi, juga menjadi lokomotif yang memberikan maslahat kepada jamaah.
Melalui jaringan internasionalnya, Yahya Staquf tanpa henti menawarkan gerakan untuk peradaban baru yang lebih damai. Secara domestik, ia berusaha keras membenahi tata kelola baru organisasi agar bisa mengeksekusi berbagai agenda yang berorientasi kemaslahatan umat. Pekerjaan yang tidak mudah karena tradisi disiplin berorganisasi belum menjadi mainstream di setiap lini.
Rebranding NU yang dilakukan PBNU maupun PCNU Surabaya hanyalah awal dari gerakan panjang. Pada saatnya, umat akan bisa memilih masuk gerbong besar yang melaju pesat karena lokomotifnya hebat atau ketinggalan di luar gerbong yang sedang melaju pesat. (*)