Kalau diibaratkan, Jokowi kini berdansa di tengah parpol. Langkahnya berayun antara capres dukungan PDIP, yakni Ganjar Pranowo, atau Prabowo Subianto. Sementara itu, sikapnya dengan kubu pendukung Anies Baswedan sudah sangat terlihat berseberangan.
Sikap Jokowi terbaca akan mendukung calon tertentu. Ada ”Putra Mahkota” di kantongnya. Beberapa nama dan kode sudah sering disebutkan. Sikap itu mempunyai untung rugi dan risiko politik.
Contohnya saat suksesi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Putaran pertama, Demokrat netral karena tak mengusung calon. Di putaran kedua, Demokrat bersikap pro-Prabowo-Hatta. Begitu berganti kekuasaan, semua berubah dengan cepat. Partai yang dulu bagian dari koalisinya di pemerintahan langsung jaga jarak. Bahkan, di akhir jabatan SBY, parpol-parpol di kabinet sudah membangun koalisi sendiri-sendiri. Parpol mengerumuni gula baru.
Kalau yang didukung menang, tentu Jokowi akan happy saat lengser. Paling tidak, akan nyaman memberikan masukan kepada penggantinya.
Lain halnya bila pemenang bukan capres yang didukung. Jokowi akan dengan cepat dilupakan semut-semut yang memburu gula baru. Alamiah juga, perjalanan politik anak dan mantunya tak akan semulus saat ini.
Apalagi, Jokowi merupakan presiden yang tak mempunyai basis politik permanen. Dalam arti, tidak punya parpol seperti Megawati atau SBY.
Saat Megawati turun takhta, masih ada PDIP yang menjadi ”bumper” politik dia. Sekaligus kendaraan politik untuk bangkit lagi. Demikian halnya dengan SBY yang punya Demokrat.
Ketika lengser, walaupun ”kehilangan” parpol, Gus Dur masih punya basis nahdliyin yang sangat loyal. Habibie turun tanpa beban karena sikapnya yang netral untuk pemilihan presiden pengganti.
Walaupun memiliki Golkar, Habibie memilih turun dengan tenang. Caranya, ia tak bersedia mencalonkan diri lagi. Juga, tak mau repot mempersiapkan putra mahkota.
Tahun depan Jokowi pun turun takhta. Walaupun saat ini media konvensional dan medsos berisik dengan berita dukung-mendukung, tentu masih banyak yang berharap –termasuk saya– agar presiden sebagai kepala negara bersikap netral. Sebab, siapa pun yang menang akan membuat pergantian kekuasaan berjalan smooth. (*)