Dalam alam khayal Haruki Murakami, muncul sebuah cerita menawan yang menggelar pesona magis. Novel tersebut berjudul Kafka on the Shore. Cerita mengenai pergulatan seorang pemuda bernama Kafka Tamura.
Dalam kisah itu, kita dipertemukan dengan dua jalan cerita yang berliku. Pertama, seorang remaja yang bernama Kafka Tamura, pemberani namun penuh teka-teki. Ia melarikan diri dari rumah dan perjalanan hidupnya membawanya ke Takamatsu, kota yang tersembunyi dalam bayangan masa lalu. Di sana, Kafka menemukan misteri yang menyelimuti dirinya sendiri, dalam pencarian identitas yang mendalam.
Sementara itu, keberadaan Nakata, seorang kakek tua yang kehilangan ingatan, memperkuat keajaiban yang menjalar. Meski dipandang sebelah mata oleh orang-orang, kelebihan Nakata membuka pintu menuju dimensi tak terduga. Ia memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan kucing, memahami bahasa tak terucapkan yang mengalir di antara mereka.
Dalam perjalanan mereka yang ajaib dan saling berhadapan dengan takdir, keduanya menelusuri kisah-kisah yang berkaitan dengan harta karun keluarga, hilangnya waktu, dan pencarian makna dalam kehidupan. Mereka melewati waktu dan ruang, membuka tabir rahasia yang tersembunyi di balik layar misteri.
Dengan kepiawaian Murakami dalam memainkan kata-kata, Kafka on the Shore menciptakan suasana yang mencekam dan memikat. Setiap kalimat seolah berdenting dalam relung hati, menyentuh rasa ingin tahu yang terpendam. Puitis dan misterius, cerita ini membawa kita melintasi batas-batas realitas dan menggugah imajinasi yang tersembunyi.
Novel itu menggambarkan perjalanan spiritual yang menggetarkan jiwa, dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik dan menjalankan irama dalam pikiran. Seperti melangkah ke dalam mimpi yang bersemi di dunia nyata. Kafka on the Shore mengajak kita untuk menyelami lapisan kehidupan yang tersembunyi di balik tirai waktu dan eksistensi.
Dengan kejutan dan ketegangan yang terus membelit, novel ini memberikan ruang bagi kita untuk menyelami gelapnya kehidupan. Sekaligus menerangi jalan yang belum terjamah. Salah satu masterpiece Murakami yang mempesona, seperti lagu yang mengalun dalam jiwa dan menceritakan keabadian dalam kerapuhan manusia.
Buku Haruki Murakami berjudul Kafka on the shore dalam bahasa Inggris--Jeff Hirsch Book
Aku pernah mendengar kisah dua sejoli yang disatukan oleh novel Murakami dari penjaga lapak literasi di Taman Bungkul Surabaya. Sebuah kisah pria dari ibu kota yang mengejar puan di ujung Timur Jawa. Mereka menyatukan persepsi setelah membaca Kafka On The Shore: Cinta merupakan perjalanan menemukan diri sendiri.
Sore itu, sang pria duduk menjaga lapak baca yang cuma beralas terpal. Ia meletakkan Kafka on the Shore. Kami saling berpandangan dan ia tersenyum tipis. Katanya, ia pernah jatuh cinta dan menjalin hubungan serius gara-gara novel itu. Aku bertanya, bagaimana kisah Kafka mengawali hubungan mereka. “Aku menemukan dia, seperti menemukan diriku sendiri,” jawabnya serius.
Rasa penasaran mencuat, aku ketularan jadi serius. Katanya, sang pujaan ditemukan secara tak sengaja di sosial media. Mereka lalu menemukan kecocokan karena membaca buku Murakami itu. Ada satu kisah di novel yang sangat melekat di hubungan mereka. Seperti peristiwa hujan sarden. Ketika hujan melanda, mereka mengandaikan bagaimana kalau yang turun bukan air, tetapi sarden. Ia tertawa, aku tidak paham konteksnya. Karena hari itu, aku memang belum baca.
Pria tersebut membetulkan posisi duduknya. Ia antusias membagikan kisah pribadinya dan novel itu. Suatu saat, Kafka tersesat di hutan. Ia bertemu dengan dua hantu tentara yang gugur ketika berperang. Mereka bertiga terjebak di hutan itu. Namun, Kafka dan dua tentara itu tak mau pergi. Mereka terjebak dalam zona nyaman. Hutan itu menjadi dimensi mereka. Ruang di mana mereka dipertemukan.
“Kami dibuat seolah-olah nyaman selama dua tahun bersemayam di hutan yang gelap dan tak menentu. Kami berangkat dari titik yang sama, untuk memenangkan perang. Namun di akhir kisah, kami kalah dan membusuk jadi hantu. Belum menang, kami berbeda visi. Ia menginginkan kepastian, dan kubilang masa depan adalah sekarang,” tambahnya.
Aku bertanya apa hubungannya. Katanya, hutan merupakan latar belakang mereka dilahirkan. Mereka sama-sama tersesat. Berperang untuk sesuatu yang tidak pasti. Membangkai bersama ditinggal Kafka yang hinggap sekejap. Aku masih tidak tahu.
Setelah banyak mengulik, rupanya penjaga lapak buku itu menjalin hubungan dengan perbedaan keyakinan. Agama yang mereka anut tak sama. Hubungan mereka menjelma menjadi hutan. Gelap dan tidak menentu. Suatu ketika kekasihnya menginginkan kepastian, pria itu menjawab pasti bisa, tetapi tidak tahu kapan.
Hingga Kafka yang mereka katakan serupa cinta itu pergi. “Aku menemukan diriku tersesat. Masih tersesat. Hingga kutemukan diriku sendiri. Kafka yang tak percaya takdir. Tapi selalu sedih menyadari aku sendirian lagi,” katanya sambil merenung.